Tahun
2150 merupakan tahun kejayaan teknologi dan peradaban manusia. Di tahun ini
semua hal serba canggih mulai dari alat transportasi yang bisa melayang di
udara hingga alat komunikasi yang semakin mudah. Di tahun ini bahkan manusia
mulai menciptakan topeng ekspresi yang dapat dipakai dimana-mana. Meskipun
zaman ini merupakan zaman termaju bagi teknologi dan peradaban tidak begitu
dengan kepribadian manusia. Kepribadian bukanlah sesuatu yang dihargai di zaman
ini. Selama kau memiliki otak tak peduli bagaimanapun kau, kau akan tetap
dihargai. Karena itu keberadaan topeng ekspresi menjadi sebuah benda yang tak
ternilai harganya. Topeng ini menyembunyikan sifat asli manusia dan hanya
menunjukan ekspresi yang diinginkan oleh lawan bicara. Sungguh sebuah benda
yang sangat praktis dan efisien.
Semua
manusia di zaman ini menggunakan topeng untuk menyembunyikan betapa busuk hati
mereka. Seperti yang terjadi di zaman-zaman sebelumnya, manusia hanya bersembunyi
di balik senyum manis sembari menyembunyikan kebusukan hatinya. Tapi yang
terjadi di zaman ini sungguh jauh lebih parah. Semua orang saling mengetahui
kebusukan masing-masing tapi tetap saja memasang topeng senyuman memuakan.
Saling memuji meskipun sama-sama saling memaki.
Di
salah satu rumah di ibu kota, hidup seorang pemuda dengan keluarganya yang kaya
raya. Sama seperti kebanyakan penduduk lainnya, keluarga ini juga memakai
topeng untuk menyembunyikan hati mereka. Di depan anak-anak mereka, sang orang
tua memakai topeng kasih sayang, berkata lembut penuh motivasi. Begitu juga
sang anak memakai topeng penurut seorang anak yang patuh pada orang tua. Namun
Erlen, nama pemuda itu sungguh sangat membenci topeng-topeng itu. Ia lahir di
tengah manusia bertopeng, dan tumbuh di sekelilingnya, namun entah kenapa ia
sangat membencinya. Erlen berbeda dengan manusia lain yang hidup di zaman ini.
Meski lahir di tengah keporakpondaan kepribadian, Erlen tumbuh menjadi pemuda
yang baik.
Tapi
seperti dalam kisah drama yang sering ditayangkan di televisi. Menjadi baik
saja lantas tak akan mampu membuatmu dihargai dan cintai semua orang. Begitu
juga dengan Erlen. Seringkali memprotes orang tuanya yang selalu memakai topeng
membuat pemuda itu dicap sebagai anak pembangkang, tak tahu terimakasih. Tapi
ucapan-ucapan itu tak akan pernah keluar dari mulut orang tuanya, sebab
topeng-topeng sialan itu hanya menampilkan ekspresi-ekspresi yang baik saja.
Inilah rahasia yang disimpan rapat-rapat pemuda itu. Sesungguhnya yang
membuatnya benci setengah mati terhadap topeng itu adalah karena ia bisa
melihat dengan jelas ekspresi sesungguhnya di balik topeng itu.
Erlen
tak tahu kapan pastinya. Namun sepanjang ingatannya berjalan, ia selalu dapat
melihat hal yang tersembunyi di balik topeng-topeng yang dipakai orang-orang.
Erlen sangat ingat pertama kali ia melihat bagaimana sesungguhnya manusia ia
merasa mual. Seolah isi perutnya di balik ingin keluar. Tak hanya ekspresi saja
yang ia lihat, Erlen bahkan bisa mendengar apa yang dipikirkan orang-orang
pemakai topeng itu. Sejak saat itulah ia menganggap topeng-topeng itu
menjijikan. Tapi Erlen tak memiliki daya untuk melepaskan semua orang dari
topeng terkutuk itu. Alih-alih ia bahkan menjadi salah satu pemakai topeng itu.
Sungguh saat-saat itu merupakan bagian tergelap dalam kehidupan Erlen. Ia
merasa begitu rendah menjijikan, munafik. Hatinya selalu membangkang, tapi ia
tak punya kekuatan dan hanya bisa pasrah ketika orang tuanya mulai memaksa
dirinya memakai topeng itu.
“
Aku nggak mau!” seru Erlen. Usianya 17 saat orang tuanya memaksakan topeng itu
untuk dikenakan.
“
Kenapa Erlen? Semua orang juga memakainya, toh mukamu juga nggak akan berubah.
Topeng ini hanya akan menyembunyikan raut wajahmu.” bujuk Ibu. Erlen bergidig.
Sekelebat ia melihat raut asli ibunya. Meski berkata-kata manis sesungguhnya
ibu sudah sangat jengkel dengan kelakuannya yang selalu membangkang.
“
Aku nggak mau bersembunyi di balik topeng-topeng itu!” seru Erlen lagi. Ibu
kembali tersenyum. Sebuah senyuman lembut nan manis, namun di mata Erlen senyum
itu justru terlihat memuakan.
“
Turuti ibumu Erlen, pakailah topeng itu!” perintah Ayah. Meski diucapkan dengan
lembut ada nada memaksa yang entah mengapa membuat Erlen tak kuasa menolak.
Dengan terpaksa ia memakai topeng itu membuatnya merasa menjadi manusia
termunafik di dunia. Erlen memandang cermin di hadapannya. Yang terpantul di
cermin itu, bayangan pemuda tampan yang tengah tersenyum sopan. Namun sesungguhnya
pemuda itu bahkan tidak tersenyum. Jangankan tersenyum, pemuda itu justru sedang
menangis. Ketika nurani dan tindakan tak berjalan beriringan, rasanya sungguh
tersiksa.
*****
Bertahun-tahun
telah berlalu semenjak pertama kali ia memakai topeng itu. Erlen kini telah
tumbuh dewasa. Iabukan lagi seorang remaja yang hanya menuruti perkataan orang
tuanya meski tak sesuai kata hatinya. Erlen telah bertekad melawan. Ia tak sudi
lagi memakai topeng hanya untuk terlihat baik di mata orang lain. Erlen
bertekad memusnahkan topeng-topeng itu. Sudah saatnya manusia menunjukan jati
dirinya bukan dengan bersembunyi di balik topeng ekspresi.
Dimulailah
misi Erlen.Tapi perjuangannya tidak mudah. Penduduk di kotanya telah terlalu
lama termanjakan oleh kemudahan topeng itu. Tanpa topeng barangkali tidak ada
yang tahu bagaimana caranya menghadapi orang lain. Karena itulah saat Erlen membujuk
orang-orang untuk membuka topeng mereka, penolakanlah yang diterima pemuda itu.
Tapi Erlen tidak menyerah, ia tetap membujuk orang-orang untuk melepaskan
topengnya.
Jauh
dari tempat tinggal Erlen, sekelompok orang tengah mendiskusikan suatu hal.
Kabar Erlen yang membujuk orang-orang untuk tidak lagi mengenakan topeng itu
sampai ke telinga kelompok itu. Kelompok itu merupakan kumpulan orang-orang
penuh kuasa. Merekalah yang mengendalikan semuanya lewat belakang layar. Tidak
ada satupun yang mengetahui keberadaan mereka kecuali anggota kelompok mereka
sendiri. Dan tidak seperti orang-orang lainnya, anggota kelompok itu tak ada
yang memakai topeng. Mereka menunjukan wajah asli jahat mereka kepada para
anggota.
Kelompok
ini mulai resah dengan usaha Erlen. Bagi mereka Erlen merupakan pengganggu
nomor satu untuk misi mereka. Tidak ada yang tahu misi apa yang kelompok itu
bawa. Kelompok itu menamai dirinya dengan nama Taisho. Satu hal yang pasti,
topeng-topeng itu berasal dari ide mereka. Karenanya melihat Erlen yang begitu
gigih membujuk orang-orang melepaskan topeng itu, membuat kelompok Taisho
geram.
“
Apa yang harus kita lakukan pada pemuda bernama Erlen itu?” tanya salah satu
anggota dengan kode nama Han.
“
Jawabannya sudah jelas, singkirkan pemuda itu bagaimanapun caranya. Sebelum ia
menyadari rahasia di balik topeng itu dan misi kita.” jawab ketua kelompok
Taisho yang dipanggil Lead.
“
Lalu bagaimana caranya menyingkirkan pemuda itu?” tanya Han lagi. Lead menarik
salah satu ujung bibirnya membentuk seringai mengerikan.
“
Kemarilah akan kujelaskan pada kalian.”
*****
Erlen
tersenyum puas. Meski belum menunjukan hasil yang memuaskan, setidaknya
usahanya mulai menunjukan hasil. Beberapa orang mulai bersimpati padanya. Kali
ini bukan simpati yang ditunjukan oleh topeng itu, namun benar-benar dari hati.
Erlen mengetahuinya karena ia bisa melihat hal yang sebenarnya dirasakan oleh
orang lain.
Erlen
membaringkan diri di kasur menatap langit-langit yang ia tempeli dengan
bintang-bintang. Sebentar lagi Erlen yakin usahanya akan membuahkan hasil yang
manis. Erlen begitu berpikir optimis, tanpa menyadari bahaya semakin
mendekatinya. Tepat ketika Erlen akan terlelap tiba-tiba saja teleponnya
berdering nyaring. Dengan malas Erlen menangkat telepon. Suara dari ujung
telepon begitu dikenalnya. Ibu. Erlen mengernyit. Ada apa ibunya menelpon larut malam begini?
“
Erlen?”
“
Iya bu.”
“
Pulanglah nak. Ibu merindukanmu.” pinta ibunya. Telepon kemudian ditutup. Erlen
menghembuskan napas berat. Ia sebenarnya tidak ingin pulang, namun mendengar
suara ibunya yang memintanya pulang membuatnya tidak enak hati. Erlenpun
memutuskan untuk pulang malam itu juga.
Rumah
sudah sepi saat Erlen tiba. Kedua orang tuanya sudah tidur, begitu juga dengan
adik-adiknya. Entah apa yang dipikirkan Erlen tiba-tiba saja ia melangkahkan
kaki menuju kamar orang tuanya. Satu pertanyaan yang selama ini ia simpan.
Erlen selalu mengetahui apa yang orang lain rasakan di balik topen itu, tapi ia
tidak pernah melihat wajah di balik topeng itu. Erlen mengendap-endap masuk ke
kamar orang tuanya. Ia mendengus. Bahkan saat tidurpun orang tuanya masih saja
memakai topeng itu. Perlahan Erlen mendekat dan melepas topeng yang melekat di
wajah ibunya. Pemuda itu menjerit tertahan melihat pemandangan di hadapannya.
Tubuhnya mendadak bergetar. Dengan cepat Erlen mengembalikan topeng itu ke
wajah ibu dan keluar dari kamar.
Tapi
keterkejutan Erlen belum selesai. Ketika keluar dari kamar orang tuanya, sebuah
senjata di todongkan di wajahnya. Sontak wajah Erlen pucat pasi. Belum sempat keterkejutannya melihat wajah
ibunya, ia harus menghadapi seseorang yang tidak ia kenal.
“
Dari ekspresimu sepertinya kau sudah tahu rahasia di balik topeng itu.”
ucapnya. Erlen terperajat.
“
Ba bagaimana kau tahu?” tanya Erlen. Pria itu kembali menyeringai tanpa
menjawab pertanyaan Erlen. Ia mengayunkan tangannya ke arah belakang kepala
Erlen membuat pemuda itu kehilangan kesadaran.
Pria
itu membawa tubuh Erlen menjauhi kota. Ia mengendarai mobilnya jauh ke arah
pinggir pantai. Senyum licik terukir di wajahnya. Begitu sampai di tempat yang
dituju, pria itu membawa tubuh Erlen yang masih tak sadarkan diri. Dengan cepat
pria itu menjatuhkan tubuh Erlen ke laut.
Erlen
merasa napasnya begitu sesak. Ketika ia membuka matanya ia terkejut bukan
kepalang. Tubuhnya secara perlahan semakin tenggelam. Erlen berusaha berenang,
tapi percuma. Tubuhnya tidak dapat digerakan. Ia hanya bisa pasrah menerima
tubuhnya semakin lama semakin jatuh ke dasar lautan. Masih terpatri jelas di
pikirannya wajah ibunya. Di balik topeng itu tidak ada wajah. Di balik topeng
itu sungguh tidak ada apapun, wajah di balik topeng itu telah sirna. Namun
semuanya terlambat. Erlen kini semakin tenggelam di laut yang dalam.
Kesadarannya mulai menghilang. Di tengah-tengah kesadaran yang mulai menipis
itu, ia kembali berpikir. Benarkah tindakan yang ia lakukan selama ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar