Rabu, 18 November 2015

Topeng



       
     Kepura-puraan, kebohongan, kepalsuan. Itulah sifat manusia yang kerap kali tersembunyi dalam gelap dan tak pernah terlihat. Manusia adalah makhluk yang begitu pandai berpura-pura. Tipu menipu demi menghasilkan keuntungan pribadi semata. Di luar mungkin ia sedang tersenyum, tapi siapa yang sadar ada sebuah pisau tersembunyi di balik tangannya.
            Tahun 2150 merupakan tahun kejayaan teknologi dan peradaban manusia. Di tahun ini semua hal serba canggih mulai dari alat transportasi yang bisa melayang di udara hingga alat komunikasi yang semakin mudah. Di tahun ini bahkan manusia mulai menciptakan topeng ekspresi yang dapat dipakai dimana-mana. Meskipun zaman ini merupakan zaman termaju bagi teknologi dan peradaban tidak begitu dengan kepribadian manusia. Kepribadian bukanlah sesuatu yang dihargai di zaman ini. Selama kau memiliki otak tak peduli bagaimanapun kau, kau akan tetap dihargai. Karena itu keberadaan topeng ekspresi menjadi sebuah benda yang tak ternilai harganya. Topeng ini menyembunyikan sifat asli manusia dan hanya menunjukan ekspresi yang diinginkan oleh lawan bicara. Sungguh sebuah benda yang sangat praktis dan efisien.

            Semua manusia di zaman ini menggunakan topeng untuk menyembunyikan betapa busuk hati mereka. Seperti yang terjadi di zaman-zaman sebelumnya, manusia hanya bersembunyi di balik senyum manis sembari menyembunyikan kebusukan hatinya. Tapi yang terjadi di zaman ini sungguh jauh lebih parah. Semua orang saling mengetahui kebusukan masing-masing tapi tetap saja memasang topeng senyuman memuakan. Saling memuji meskipun sama-sama saling memaki.
            Di salah satu rumah di ibu kota, hidup seorang pemuda dengan keluarganya yang kaya raya. Sama seperti kebanyakan penduduk lainnya, keluarga ini juga memakai topeng untuk menyembunyikan hati mereka. Di depan anak-anak mereka, sang orang tua memakai topeng kasih sayang, berkata lembut penuh motivasi. Begitu juga sang anak memakai topeng penurut seorang anak yang patuh pada orang tua. Namun Erlen, nama pemuda itu sungguh sangat membenci topeng-topeng itu. Ia lahir di tengah manusia bertopeng, dan tumbuh di sekelilingnya, namun entah kenapa ia sangat membencinya. Erlen berbeda dengan manusia lain yang hidup di zaman ini. Meski lahir di tengah keporakpondaan kepribadian, Erlen tumbuh menjadi pemuda yang baik.
            Tapi seperti dalam kisah drama yang sering ditayangkan di televisi. Menjadi baik saja lantas tak akan mampu membuatmu dihargai dan cintai semua orang. Begitu juga dengan Erlen. Seringkali memprotes orang tuanya yang selalu memakai topeng membuat pemuda itu dicap sebagai anak pembangkang, tak tahu terimakasih. Tapi ucapan-ucapan itu tak akan pernah keluar dari mulut orang tuanya, sebab topeng-topeng sialan itu hanya menampilkan ekspresi-ekspresi yang baik saja. Inilah rahasia yang disimpan rapat-rapat pemuda itu. Sesungguhnya yang membuatnya benci setengah mati terhadap topeng itu adalah karena ia bisa melihat dengan jelas ekspresi sesungguhnya di balik topeng itu.
            Erlen tak tahu kapan pastinya. Namun sepanjang ingatannya berjalan, ia selalu dapat melihat hal yang tersembunyi di balik topeng-topeng yang dipakai orang-orang. Erlen sangat ingat pertama kali ia melihat bagaimana sesungguhnya manusia ia merasa mual. Seolah isi perutnya di balik ingin keluar. Tak hanya ekspresi saja yang ia lihat, Erlen bahkan bisa mendengar apa yang dipikirkan orang-orang pemakai topeng itu. Sejak saat itulah ia menganggap topeng-topeng itu menjijikan. Tapi Erlen tak memiliki daya untuk melepaskan semua orang dari topeng terkutuk itu. Alih-alih ia bahkan menjadi salah satu pemakai topeng itu. Sungguh saat-saat itu merupakan bagian tergelap dalam kehidupan Erlen. Ia merasa begitu rendah menjijikan, munafik. Hatinya selalu membangkang, tapi ia tak punya kekuatan dan hanya bisa pasrah ketika orang tuanya mulai memaksa dirinya memakai topeng itu.
            “ Aku nggak mau!” seru Erlen. Usianya 17 saat orang tuanya memaksakan topeng itu untuk dikenakan.
            “ Kenapa Erlen? Semua orang juga memakainya, toh mukamu juga nggak akan berubah. Topeng ini hanya akan menyembunyikan raut wajahmu.” bujuk Ibu. Erlen bergidig. Sekelebat ia melihat raut asli ibunya. Meski berkata-kata manis sesungguhnya ibu sudah sangat jengkel dengan kelakuannya yang selalu membangkang.
            “ Aku nggak mau bersembunyi di balik topeng-topeng itu!” seru Erlen lagi. Ibu kembali tersenyum. Sebuah senyuman lembut nan manis, namun di mata Erlen senyum itu justru terlihat memuakan.
            “ Turuti ibumu Erlen, pakailah topeng itu!” perintah Ayah. Meski diucapkan dengan lembut ada nada memaksa yang entah mengapa membuat Erlen tak kuasa menolak. Dengan terpaksa ia memakai topeng itu membuatnya merasa menjadi manusia termunafik di dunia. Erlen memandang cermin di hadapannya. Yang terpantul di cermin itu, bayangan pemuda tampan yang tengah tersenyum sopan. Namun sesungguhnya pemuda itu bahkan tidak tersenyum. Jangankan tersenyum, pemuda itu justru sedang menangis. Ketika nurani dan tindakan tak berjalan beriringan, rasanya sungguh tersiksa.
*****
            Bertahun-tahun telah berlalu semenjak pertama kali ia memakai topeng itu. Erlen kini telah tumbuh dewasa. Iabukan lagi seorang remaja yang hanya menuruti perkataan orang tuanya meski tak sesuai kata hatinya. Erlen telah bertekad melawan. Ia tak sudi lagi memakai topeng hanya untuk terlihat baik di mata orang lain. Erlen bertekad memusnahkan topeng-topeng itu. Sudah saatnya manusia menunjukan jati dirinya bukan dengan bersembunyi di balik topeng ekspresi.
            Dimulailah misi Erlen.Tapi perjuangannya tidak mudah. Penduduk di kotanya telah terlalu lama termanjakan oleh kemudahan topeng itu. Tanpa topeng barangkali tidak ada yang tahu bagaimana caranya menghadapi orang lain. Karena itulah saat Erlen membujuk orang-orang untuk membuka topeng mereka, penolakanlah yang diterima pemuda itu. Tapi Erlen tidak menyerah, ia tetap membujuk orang-orang untuk melepaskan topengnya.
            Jauh dari tempat tinggal Erlen, sekelompok orang tengah mendiskusikan suatu hal. Kabar Erlen yang membujuk orang-orang untuk tidak lagi mengenakan topeng itu sampai ke telinga kelompok itu. Kelompok itu merupakan kumpulan orang-orang penuh kuasa. Merekalah yang mengendalikan semuanya lewat belakang layar. Tidak ada satupun yang mengetahui keberadaan mereka kecuali anggota kelompok mereka sendiri. Dan tidak seperti orang-orang lainnya, anggota kelompok itu tak ada yang memakai topeng. Mereka menunjukan wajah asli jahat mereka kepada para anggota.
            Kelompok ini mulai resah dengan usaha Erlen. Bagi mereka Erlen merupakan pengganggu nomor satu untuk misi mereka. Tidak ada yang tahu misi apa yang kelompok itu bawa. Kelompok itu menamai dirinya dengan nama Taisho. Satu hal yang pasti, topeng-topeng itu berasal dari ide mereka. Karenanya melihat Erlen yang begitu gigih membujuk orang-orang melepaskan topeng itu, membuat kelompok Taisho geram.
            “ Apa yang harus kita lakukan pada pemuda bernama Erlen itu?” tanya salah satu anggota dengan kode nama Han.
            “ Jawabannya sudah jelas, singkirkan pemuda itu bagaimanapun caranya. Sebelum ia menyadari rahasia di balik topeng itu dan misi kita.” jawab ketua kelompok Taisho yang dipanggil Lead.
            “ Lalu bagaimana caranya menyingkirkan pemuda itu?” tanya Han lagi. Lead menarik salah satu ujung bibirnya membentuk seringai mengerikan.
            “ Kemarilah akan kujelaskan pada kalian.”
*****
            Erlen tersenyum puas. Meski belum menunjukan hasil yang memuaskan, setidaknya usahanya mulai menunjukan hasil. Beberapa orang mulai bersimpati padanya. Kali ini bukan simpati yang ditunjukan oleh topeng itu, namun benar-benar dari hati. Erlen mengetahuinya karena ia bisa melihat hal yang sebenarnya dirasakan oleh orang lain.
            Erlen membaringkan diri di kasur menatap langit-langit yang ia tempeli dengan bintang-bintang. Sebentar lagi Erlen yakin usahanya akan membuahkan hasil yang manis. Erlen begitu berpikir optimis, tanpa menyadari bahaya semakin mendekatinya. Tepat ketika Erlen akan terlelap tiba-tiba saja teleponnya berdering nyaring. Dengan malas Erlen menangkat telepon. Suara dari ujung telepon begitu dikenalnya. Ibu. Erlen mengernyit.  Ada apa ibunya menelpon larut malam begini?
            “ Erlen?”
            “ Iya bu.”
            “ Pulanglah nak. Ibu merindukanmu.” pinta ibunya. Telepon kemudian ditutup. Erlen menghembuskan napas berat. Ia sebenarnya tidak ingin pulang, namun mendengar suara ibunya yang memintanya pulang membuatnya tidak enak hati. Erlenpun memutuskan untuk pulang malam itu juga.
            Rumah sudah sepi saat Erlen tiba. Kedua orang tuanya sudah tidur, begitu juga dengan adik-adiknya. Entah apa yang dipikirkan Erlen tiba-tiba saja ia melangkahkan kaki menuju kamar orang tuanya. Satu pertanyaan yang selama ini ia simpan. Erlen selalu mengetahui apa yang orang lain rasakan di balik topen itu, tapi ia tidak pernah melihat wajah di balik topeng itu. Erlen mengendap-endap masuk ke kamar orang tuanya. Ia mendengus. Bahkan saat tidurpun orang tuanya masih saja memakai topeng itu. Perlahan Erlen mendekat dan melepas topeng yang melekat di wajah ibunya. Pemuda itu menjerit tertahan melihat pemandangan di hadapannya. Tubuhnya mendadak bergetar. Dengan cepat Erlen mengembalikan topeng itu ke wajah ibu dan keluar dari kamar.
            Tapi keterkejutan Erlen belum selesai. Ketika keluar dari kamar orang tuanya, sebuah senjata di todongkan di wajahnya. Sontak wajah Erlen pucat pasi.  Belum sempat keterkejutannya melihat wajah ibunya, ia harus menghadapi seseorang yang tidak ia kenal.
            “ Dari ekspresimu sepertinya kau sudah tahu rahasia di balik topeng itu.” ucapnya. Erlen terperajat.
            “ Ba bagaimana kau tahu?” tanya Erlen. Pria itu kembali menyeringai tanpa menjawab pertanyaan Erlen. Ia mengayunkan tangannya ke arah belakang kepala Erlen membuat pemuda itu kehilangan kesadaran.
            Pria itu membawa tubuh Erlen menjauhi kota. Ia mengendarai mobilnya jauh ke arah pinggir pantai. Senyum licik terukir di wajahnya. Begitu sampai di tempat yang dituju, pria itu membawa tubuh Erlen yang masih tak sadarkan diri. Dengan cepat pria itu menjatuhkan tubuh Erlen ke laut.
            Erlen merasa napasnya begitu sesak. Ketika ia membuka matanya ia terkejut bukan kepalang. Tubuhnya secara perlahan semakin tenggelam. Erlen berusaha berenang, tapi percuma. Tubuhnya tidak dapat digerakan. Ia hanya bisa pasrah menerima tubuhnya semakin lama semakin jatuh ke dasar lautan. Masih terpatri jelas di pikirannya wajah ibunya. Di balik topeng itu tidak ada wajah. Di balik topeng itu sungguh tidak ada apapun, wajah di balik topeng itu telah sirna. Namun semuanya terlambat. Erlen kini semakin tenggelam di laut yang dalam. Kesadarannya mulai menghilang. Di tengah-tengah kesadaran yang mulai menipis itu, ia kembali berpikir. Benarkah tindakan yang ia lakukan selama ini?

             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar