Kamis, 19 November 2015

Rembulan Sepenggal



            Malam ini sama seperti malam sebelumnya. Langit hitam menyelimuti bumi. Cahaya bulan separuh menjadi satu-satunya penerang di Kota kecil yang terletak jauh di pinggiran ibu kota ini. Di sebuah komplek rumah yang berbatasan dengan kawasan kumuh seorang gadis tampak sedang bercakap-cakap dengan seorang pemuda sepantarannya. Wajah cantik gadis itu terkadang bersemu merah saat pemuda di hadapannya berkata-kata. Gadis itu bernama Bulan, salah seorang anak konglomerat di kota kecil itu sekaligus gadis tercantik di saentero kota. Sedangkan pemuda di hadapannya bernama Rembu, seorang pemuda dari kalangan biasa saja. Sudah lama Rembu dan Bulan memadu kasih tanpa sepengetahuan orang tua mereka. Setiap malam tiba, Rembu akan datang menemui Bulan di bawah beranda kamar Bulan. Tak banyak yang mereka lakukan, hanya bercakap-cakap sampai mata dan mulut lelah atau sampai fajar menyingsing.
            Dari sekian banyak hal yang sering dibicarakan, Bulan sangat menyukai legenda kota mereka tentang bulan sepenggal. Rembu pemuda yang cerdas dan sangat piawai bercerita. Dengan cerita-ceritanya ia sering sekali memikat Bulan, terutama apabila ia bercerita tentang bulan sepenggal itu. Mata Bulan akan membulat penuh antusias. Seberapa seringnya Rembu bercerita, Bulan seolah tak pernah kehilangan minat.
            Bulan di kota mereka memang sedikit istimewa. Selalu terlihat separuh. Tidak kurang maupun lebih. Entah karena penduduk yang tidak pernah melihatnya saat bulan purnama, atau memang sejak awal bulan itu tidak pernah lebih dari sepenggal. Dari situlah legenda-legenda itu berasal. Diturunkan mulut ke mulut, legenda bulan sepenggal di kota kecil itu menjadi begitu terkenal hingga ke ujung-ujung kota. Namun sama seperti cerita-cerita pada umumnya, legenda bulan sepenggal di kota itu juga memiliki beberapa versi yang berbeda.

            “ Ceritakan lagi tentang bulan sepenggal itu,” rengek Bulan malam itu. Rembu pura-pura mengeluh pelan.
            “ Kamu nggak bosan mendengar cerita yang itu-itu saja? Aku bisa ceritakan yang lainnya. Atau mungkin kamu mau mendengar ceritaku hari ini?” tanya Rembu. Bulan hanya menggeleng keras. Ia menggelembungkan pipinya lucu, membuat Rembu ingin mencubitnya. Namun apa daya tangannya tak mampu menggapai pipi Bulan yang berdiri jauh darinya.
            “ Nggak mau aku maunya mendengar cerita Bulan Sepenggal. Lihatlah bukankah sesuai dengan malam ini.” Bola mata Bulan mengisyaratkan Rembu untuk mendongak ke atas. Langit malam yang gelap terlihat sedikit terang. Bulan separuh menggantung memantulkan cahaya mentari. Rembu menggerutu. Bulan memang pandai mencari alasan. Rembu berdehem memulai ceritanya.
            Zaman dahulu kala hiduplah sepasang kekasih bernama Lun dan Nar. Mereka kekasih yang sangat mesra. Dimanapun Lun berada Nar selalu di sampingnya. Melihat mereka bersama menjadi hal yang wajar bagi semua orang. Justru ketika Lun tidak ada di sisi Nar, pertanyaan-pertanyaan muncul. Tapi kisah kasih Lun dan Nar tidak berujung manis. Jauh di negara antah berantah Sun mendengar berita tentang kecantikan Lun. Lun memang gadis tercantik di seantero jagad. Karena itulah Sun bertekad untuk mendapatkan Lun. Tapi apa daya, Lun telah dimiliki oleh Nar dan tidak bisa direbut oleh siapapun. Marah, Sun memusnahkan Nar membuat jiwa Lun hanya tinggal separuh. Sejak itu dunia Lun hanya gelap. Sun berusaha memberikan sinarnya pada Lun, tapi semua percuma. Lun tetap tidak bisa menyinari kegelapannya bahkan dengan bantuan sinar Sun. Bahkan ketika Sun datang Lun pasti pergi menjauh. Sun putus asa, ia tidak ingin melihat orang yang dicintainya terluka, tapi ia juga tidak bisa membiarkan orang lain membuat Lun bahagia. Karena itu ia meminta anak buahnya untuk meramaikan gelapnya dunia Lun, agar setidaknya gelapnya Lun masih terlihat begitu indah.
            Rembu menutup ceritanya dengan helaan napas panjang, Kerongkongannya kering meminta di siram air dingin. Sedangkan Bulan hanya bisa menahan napas mendengar kisah yang dibawakan Rembu. Ia selalu terharu. Berapa kalipun diceritakan, sejumlah itu pula gelembung-gelembung air menetes dari sudut mata Bulan. Sebuah kisah yang tragis, legenda kotanya. Bulan mendongak menatap rembulan yang menggantung di langit kelam. Apakah hati Lun masih dalam kegelapan. Begitukah kesedihan Lun saat kehilangan Nar. Meskipun hanya sebuah dongeng entah mengapa kisah mereka begitu nyata. Mungkin karena Bulan benar-benar berada dalam posisi Lun.
            Bulan menenggak ludahnya gugup. Keringat dingin menetes dari dahinya. Mata sendunya terlihat jauh lebih sendu. Bulan menggigit bibir bawahnya mencoba menghilangkan gugup dan memupuk keberanian. Dengan suara lembutnya ia memanggil Rembu yang masih asyik menenggak air .
            “ Rembu.”
            “ Ya?”
            “ Aku punya sebuah berita untukmu.” Hening. Bulan masih berusaha mencari kata-kata yang menghilang di udara.
            “ Aku akan dijodohkan dengan lelaki lain.” ungkap Bulan pendek. Bagai tersambar petit rasanya saat Rembu mendengar berita itu. Seluruh dunianya yang berwarna mendadak berubah hitam putih. Rembu tidak mampu berkata-kata. Hal yang diberitahukan Bulan membuatnya seolah kehilangan kesadaran.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar