Rembu
mendongak memandang Bulan. Bola mata nanarnya saling beradu dengan tatapan
sendu Bulan. Hanya ada kejujuran dicampur kesedihan terpancar dari mata Bulan.
Sekarang Rembu paham betul kenapa Bulan memintanya bercerita tentang legenda
kotanya. Kisah itu sungguh begitu mirip dengan kisah cinta mereka. Kisah cinta
tragis antara Lun dan Nar dan kisahnya dengan Bulan .
“ Apa yang harus kulakukan Bulan?”
tanya Rembu sedikit frustasi. Tentu saja ia tidak ingin kisahnya berakhir
tragis seperti legenda kotanya. Tapi sungguh Rembu tidak tahu lagi harus
berbuat apa. Selama ini hubungannya dengan Bulan tidak diketahui oleh siapapun
bahkan orang tua Bulan juga tidak pernah mengetahuinya. Hubungan mereka
tersimpan dengan rapat, segelap malam tanpa bintang dan bulan.
“ Bawa aku pergi Rembu, pergi
menjauh dari kota ini. Bawa aku pergi melihat indahnya bulan purnama yang
selalu kau janjikan.” pinta Bulan. Rembu hanya bisa diam mendengar permintaan Bulan.
Jikalau menuruti kata hatinya, ia pasti langsung mengiyakan tapi akal sehatnya
berkata lain. Ia tidak bisa begitu saja membawa Bulan tanpa persetujuan orang
tuanya. Ia tidak ingin hubungannya dengan Bulan berjalan tanpa restu orang tua
Bulan.
“ Aku nggak bisa Bulan. Aku nggak
ingin membawamu pergi tanpa persetujuan orang tuamu.” ungkap Rembu.
“ Lalu bagaimana? Apakah kamu setuju
aja aku dijodohkan dengan lelaki yang bahkan aku sendiri tak tau wajahnya?”
cecar Bulan meninggikan suaranya. Rembu menunjuk bibirnya dengan telunjuk isyarat
supata Bulan mengecilkan nada bicaranya. Bulan menurut. Ia diam berusaha
mengendalikan dirinya. Napasnya naik turun menahan amarah. Dibandingkan Rembu,
Bulan jauh lebih mudah terpancing emosi.
“ Baiklah Bulan. Sebelum lelaki itu
tiba aku akan melamarmu terlebih dulu. Tunggu aku esok senja.” kata Rembu
memberikan keputusan. Pemuda itu sadar ia tidak bisa selamanya bersembunyi. Ia
harus menunjukan pada orang tua Bulan bahwa ia lelaki sejati.
Bulan membulatkan matanya tidak
percaya mendengar pengakuan Rembu. Selama ini Rembu selalu menolak saat Bulan ingin
memperkenalkannya pada Ayahnya. Tapi lihatlah, hanya dengan menyebutkan bahwa
ia akan dijodohkan oleh lelaki yang tak dikenal, Rembu langsung memberitahunya
bahwa ia akan melamarnya. Bulan sungguh merasa bahagia. Rona merah terlihat
begitu jelas saat Rembu berkata ia akan menjemputnya esok senja tepat sebelum
lelaki yang entah siapa itu datang ke rumahnya.
“ Kalau begitu aku pamit dulu Bulan.
Tunggu aku besok.” pamit Rembu. Bulan mengangguk tanpa kata. Ia segera
merebahkan diri ke kasur begitu bayangan Rembu hilang di tengah kegelapan.
Hatinya masih berbunga-bunga mengingat janji Rembu kepadanya. Tanpa ia sadari
senyuman tidak pernah meninggalkan wajahnya. Bulan ingin senja esok cepat
datang. Ia tak sabar ingin bertemu Rembu yang akan meminangnya. Bulan pun
menutup mata tertidur dalam mimpi indahnya.
*****
Senja yang ditunggu tiba. Tepat
ketika jingga mulai menghiasi angkasa dan mentari dengan tenang menghilang di
ufuk barat, sosok Rembu muncul di depan pagar rumah Bulan. Hari ini Rembu
mengenakan setelan terbaiknya. Sebuah jas hitam dengan kemeja berwarna biru
tua. Rambutnya yang biasanya acak-acakan ia sisir begitu rapi. Rembu sungguh
terlihat berbeda. Ia terlihat begitu tampan. Bulan kembali terpesona melihat
Rembu. Meskipun tiap malam ia selalu bertemu dengan Rembu, rasanya melihatnya
sedekat ini membuat jantungnya berdetak tak karuan. Rona merah bahkan tidak
ingin meninggalkan kedua pipi Bulan.
“ Siapa kamu? Mau apa kamu kemari?”
suara menggelegar milik Ayah Bulan mengagetkan Rembu. Mendadak keringat dingin
keluar dari tubuhnya. Kata-kata yang ia sudah siapkan semenjak malam kemarin
hilang begitu saja seolah disapu angin topan. Tatapan intimidasi milik Ayah
Bulan menciutkan nyali Rembu. Namun demi melihat wajah Bulan yang menatapnya
penuh harap, entah dari mana keberanian itu menyembul kembali.
“ Perkenalkan nama saya Rembu Om.
Maksud saya datang kemari, tak lain yaitu ingin meminang anak Om, Bulan. Saya
mencintai Bulan dan saya ingin menikahi Bulan.” ungkap Rembu. Ayah Bulan
membelalakan mata mendengar Putri semata wayangnya tiba-tiba dilamar pemuda tak
dikenal.
“ Siapa kamu berani-beraninya
melamar anak saya. Kamu tidak tahu anak saya sudah saya jodohkan dengan pria
yang jauh lebih pantas dibanding kamu!” bentak Ayah Bulan.
“ Saya tau Om, justru karena itulah
saya datang kemari. Saya tidak ingin Bulan dijodohkan dengan lelaki manapun,
karena saya sangat mencintai Bulan. Saya juga yakin Bulan mencintai saya.”
Rembu mencoba meyakinkan. Pandangan Ayah Bulan langsung berganti ke arah Bulan.
Tatapannya seolah meminta penjelasan mengenai pemuda di hadapannya. Bulan hanya
bisa mengangguk kecil tanpa suara. Ia terlalu terthisap dalam euforia
khayalannya sendiri. Pikirnya jika Rembu datang melamarnya, Ayah pasti
mengizinkannya dan membatalkan perjodohannya.
Tapi reaksi Ayah Bulan justru jauh dari
harapannya. Lelaki itu justru murka mendengar pengakuan Rembu dan Bulan. Dengan
kasar ia mengusir Rembu dari rumahnya dan menyuruhnya untuk tidak lagi
mendekati Bulan. Rembu memandang Bulan dengan tatapan sakit. Sorot mata yang
sama juga dipancarkan Bulan. Matanya menyaratkan kesedihan dan kepedihan yang
mendalam. Dalam waktu beberapa menit saja rasa cintanya kepada Rembu terpaksa
diluluh lantakan. Hati Bulan hancur sehancur hancurnya. Ia bahkan tidak peduli
lagi ketika pria yang dipilihkan ayahnya datang. Bulan hanya meliriknya sekilas
tanpa minat.
Surya nama pria yang dijodohkan
dengan Bulan. Seorang pria mapan dari keturunan bangsawan. Senyumnya begitu
menawan, tapi tak cukup untuk merebut hati Bulan yang sudah terlanjur hancur.
Hatinya hanya milik Rembu dan kini Rembu mungkin telah pergi. Kepergiannya juga
telah membawa separuh jiwa dan seluruh hati Bulan menghilang. Tak ada lagi yang
tersisa. Baginya pria di hadapannya hanyalah sebuah boneka. Tidak ada
sedikitpun rasa di hati Bulan.
“ Bulan, kenapa wajahmu murung
seperti itu? Adakah yang mengganggumu?” tanya Surya sopan. Bulan tetap tidak
bergeming. Ia tidak ingin pria di hadapannya itu menyukainya. Ia ingin pria di
hadapannya cepat menyingkir dari hadapannya sehingga Bulan bisa sendiri
meratapi dirinya, kisah cintanya.
“ Maaf aku lelah. Aku mau
beristirahat dulu.” pamit Bulan. Ia sudah tidak tahan duduk berlama-lama dengan
pria itu. Bulan tidak mengenalnya dan ia juga tidak mau mengenalnya. Baginya
hanya ada satu pria dalam hidupnya. Rembu. Tidak boleh ada yang lain.
Bulan merebahkan diri di kasur.
Bayangan Rembu terpotret di ingatannya. Senyumannya, tawanya. Ia mengenal Rembu
sepuluh tahun yang lalu di sekolah menengahnya. Ia lelaki yang menarik dan
cerdas. Tak butuh waktu lama bagi Bulan untuk jatuh cinta padanya. Rasa itu
semakin besar ketika Rembu mengajaknya jalan-jalan di tengah malam untuk
pertama kalinya. Saat itulah pertama kalinya Bulan mendengar kisah tentang
legenda kotanya. Legenda di balik bulan separuh yang selalu terlihat di langit
malam kotanya.
Lamunan Bulan buyar saat ia
mendengar suara gaduh dari jendelanya. Seseorang terdengar seperti melempar
batu-batuan di dekat kamarnya berusaha menarik perhatiannya. Bulan menengok ke
arah luar jendela. Gadis itu membelalak melihat seorang pria yang begitu
dicintainya berada di bawah jendela kamarnya.
“ Rembu!” pekik Bulan tertahan.
Rembu tersenyum. Ia mengulurkan tangannya seolah mengajak Bulan pergi.
“ Ikutlah denganku Bulan. Aku akan
membawamu pergi menjauh dari sini. Aku akan membuatmu bahagia.” ucap Rembu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar