Jumat, 20 November 2015

Sepenggal Rembulan (2)



Rembu mendongak memandang Bulan. Bola mata nanarnya saling beradu dengan tatapan sendu Bulan. Hanya ada kejujuran dicampur kesedihan terpancar dari mata Bulan. Sekarang Rembu paham betul kenapa Bulan memintanya bercerita tentang legenda kotanya. Kisah itu sungguh begitu mirip dengan kisah cinta mereka. Kisah cinta tragis antara Lun dan Nar dan kisahnya dengan Bulan .
            “ Apa yang harus kulakukan Bulan?” tanya Rembu sedikit frustasi. Tentu saja ia tidak ingin kisahnya berakhir tragis seperti legenda kotanya. Tapi sungguh Rembu tidak tahu lagi harus berbuat apa. Selama ini hubungannya dengan Bulan tidak diketahui oleh siapapun bahkan orang tua Bulan juga tidak pernah mengetahuinya. Hubungan mereka tersimpan dengan rapat, segelap malam tanpa bintang dan bulan.

            “ Bawa aku pergi Rembu, pergi menjauh dari kota ini. Bawa aku pergi melihat indahnya bulan purnama yang selalu kau janjikan.” pinta Bulan. Rembu hanya bisa diam mendengar permintaan Bulan. Jikalau menuruti kata hatinya, ia pasti langsung mengiyakan tapi akal sehatnya berkata lain. Ia tidak bisa begitu saja membawa Bulan tanpa persetujuan orang tuanya. Ia tidak ingin hubungannya dengan Bulan berjalan tanpa restu orang tua Bulan.
            “ Aku nggak bisa Bulan. Aku nggak ingin membawamu pergi tanpa persetujuan orang tuamu.” ungkap Rembu.
            “ Lalu bagaimana? Apakah kamu setuju aja aku dijodohkan dengan lelaki yang bahkan aku sendiri tak tau wajahnya?” cecar Bulan meninggikan suaranya. Rembu menunjuk bibirnya dengan telunjuk isyarat supata Bulan mengecilkan nada bicaranya. Bulan menurut. Ia diam berusaha mengendalikan dirinya. Napasnya naik turun menahan amarah. Dibandingkan Rembu, Bulan jauh lebih mudah terpancing emosi.
            “ Baiklah Bulan. Sebelum lelaki itu tiba aku akan melamarmu terlebih dulu. Tunggu aku esok senja.” kata Rembu memberikan keputusan. Pemuda itu sadar ia tidak bisa selamanya bersembunyi. Ia harus menunjukan pada orang tua Bulan bahwa ia lelaki sejati.
            Bulan membulatkan matanya tidak percaya mendengar pengakuan Rembu. Selama ini Rembu selalu menolak saat Bulan ingin memperkenalkannya pada Ayahnya. Tapi lihatlah, hanya dengan menyebutkan bahwa ia akan dijodohkan oleh lelaki yang tak dikenal, Rembu langsung memberitahunya bahwa ia akan melamarnya. Bulan sungguh merasa bahagia. Rona merah terlihat begitu jelas saat Rembu berkata ia akan menjemputnya esok senja tepat sebelum lelaki yang entah siapa itu datang ke rumahnya.
            “ Kalau begitu aku pamit dulu Bulan. Tunggu aku besok.” pamit Rembu. Bulan mengangguk tanpa kata. Ia segera merebahkan diri ke kasur begitu bayangan Rembu hilang di tengah kegelapan. Hatinya masih berbunga-bunga mengingat janji Rembu kepadanya. Tanpa ia sadari senyuman tidak pernah meninggalkan wajahnya. Bulan ingin senja esok cepat datang. Ia tak sabar ingin bertemu Rembu yang akan meminangnya. Bulan pun menutup mata tertidur dalam mimpi indahnya.
*****
            Senja yang ditunggu tiba. Tepat ketika jingga mulai menghiasi angkasa dan mentari dengan tenang menghilang di ufuk barat, sosok Rembu muncul di depan pagar rumah Bulan. Hari ini Rembu mengenakan setelan terbaiknya. Sebuah jas hitam dengan kemeja berwarna biru tua. Rambutnya yang biasanya acak-acakan ia sisir begitu rapi. Rembu sungguh terlihat berbeda. Ia terlihat begitu tampan. Bulan kembali terpesona melihat Rembu. Meskipun tiap malam ia selalu bertemu dengan Rembu, rasanya melihatnya sedekat ini membuat jantungnya berdetak tak karuan. Rona merah bahkan tidak ingin meninggalkan kedua pipi Bulan.
            “ Siapa kamu? Mau apa kamu kemari?” suara menggelegar milik Ayah Bulan mengagetkan Rembu. Mendadak keringat dingin keluar dari tubuhnya. Kata-kata yang ia sudah siapkan semenjak malam kemarin hilang begitu saja seolah disapu angin topan. Tatapan intimidasi milik Ayah Bulan menciutkan nyali Rembu. Namun demi melihat wajah Bulan yang menatapnya penuh harap, entah dari mana keberanian itu menyembul kembali.
            “ Perkenalkan nama saya Rembu Om. Maksud saya datang kemari, tak lain yaitu ingin meminang anak Om, Bulan. Saya mencintai Bulan dan saya ingin menikahi Bulan.” ungkap Rembu. Ayah Bulan membelalakan mata mendengar Putri semata wayangnya tiba-tiba dilamar pemuda tak dikenal.
            “ Siapa kamu berani-beraninya melamar anak saya. Kamu tidak tahu anak saya sudah saya jodohkan dengan pria yang jauh lebih pantas dibanding kamu!” bentak Ayah Bulan.
            “ Saya tau Om, justru karena itulah saya datang kemari. Saya tidak ingin Bulan dijodohkan dengan lelaki manapun, karena saya sangat mencintai Bulan. Saya juga yakin Bulan mencintai saya.” Rembu mencoba meyakinkan. Pandangan Ayah Bulan langsung berganti ke arah Bulan. Tatapannya seolah meminta penjelasan mengenai pemuda di hadapannya. Bulan hanya bisa mengangguk kecil tanpa suara. Ia terlalu terthisap dalam euforia khayalannya sendiri. Pikirnya jika Rembu datang melamarnya, Ayah pasti mengizinkannya dan membatalkan perjodohannya.
            Tapi reaksi Ayah Bulan justru jauh dari harapannya. Lelaki itu justru murka mendengar pengakuan Rembu dan Bulan. Dengan kasar ia mengusir Rembu dari rumahnya dan menyuruhnya untuk tidak lagi mendekati Bulan. Rembu memandang Bulan dengan tatapan sakit. Sorot mata yang sama juga dipancarkan Bulan. Matanya menyaratkan kesedihan dan kepedihan yang mendalam. Dalam waktu beberapa menit saja rasa cintanya kepada Rembu terpaksa diluluh lantakan. Hati Bulan hancur sehancur hancurnya. Ia bahkan tidak peduli lagi ketika pria yang dipilihkan ayahnya datang. Bulan hanya meliriknya sekilas tanpa minat. 
            Surya nama pria yang dijodohkan dengan Bulan. Seorang pria mapan dari keturunan bangsawan. Senyumnya begitu menawan, tapi tak cukup untuk merebut hati Bulan yang sudah terlanjur hancur. Hatinya hanya milik Rembu dan kini Rembu mungkin telah pergi. Kepergiannya juga telah membawa separuh jiwa dan seluruh hati Bulan menghilang. Tak ada lagi yang tersisa. Baginya pria di hadapannya hanyalah sebuah boneka. Tidak ada sedikitpun rasa di hati Bulan.
            “ Bulan, kenapa wajahmu murung seperti itu? Adakah yang mengganggumu?” tanya Surya sopan. Bulan tetap tidak bergeming. Ia tidak ingin pria di hadapannya itu menyukainya. Ia ingin pria di hadapannya cepat menyingkir dari hadapannya sehingga Bulan bisa sendiri meratapi dirinya, kisah cintanya.
            “ Maaf aku lelah. Aku mau beristirahat dulu.” pamit Bulan. Ia sudah tidak tahan duduk berlama-lama dengan pria itu. Bulan tidak mengenalnya dan ia juga tidak mau mengenalnya. Baginya hanya ada satu pria dalam hidupnya. Rembu. Tidak boleh ada yang lain.
            Bulan merebahkan diri di kasur. Bayangan Rembu terpotret di ingatannya. Senyumannya, tawanya. Ia mengenal Rembu sepuluh tahun yang lalu di sekolah menengahnya. Ia lelaki yang menarik dan cerdas. Tak butuh waktu lama bagi Bulan untuk jatuh cinta padanya. Rasa itu semakin besar ketika Rembu mengajaknya jalan-jalan di tengah malam untuk pertama kalinya. Saat itulah pertama kalinya Bulan mendengar kisah tentang legenda kotanya. Legenda di balik bulan separuh yang selalu terlihat di langit malam kotanya.
            Lamunan Bulan buyar saat ia mendengar suara gaduh dari jendelanya. Seseorang terdengar seperti melempar batu-batuan di dekat kamarnya berusaha menarik perhatiannya. Bulan menengok ke arah luar jendela. Gadis itu membelalak melihat seorang pria yang begitu dicintainya berada di bawah jendela kamarnya.
            “ Rembu!” pekik Bulan tertahan. Rembu tersenyum. Ia mengulurkan tangannya seolah mengajak Bulan pergi.
            “ Ikutlah denganku Bulan. Aku akan membawamu pergi menjauh dari sini. Aku akan membuatmu bahagia.” ucap Rembu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar