Sabtu, 21 November 2015

Rembulan Sepenggal (3)



Bulan membulatkan mata. Ia tidak percaya Rembu mengajaknya pergi dari rumah. Padahal kemarin malam ia menolaknya saat Bulan meminta Rembu membawanya pergi. Rembu pun sangat tidak percaya ia mengajak Bulan pergi tanpa restu orang tuanya. Rupanya rasa cintanya pada Bulan sudah mengalahkan akal sehatnya. Rembu tidak mau kehilangan Bulan, karena itu ia harus mengambil keputusan.
            “ Rembu kamu serius?” tanya Bulan. Rembu mengangguk cepat. Ia kemudian membuka lebar lengannya meminta Bulan turun dari kamarnya. Tanpa pikir panjang Bulan keluar dari kamarnya melalui jendela.
            “ Kamu beneran mau bawa aku pergi?” Bulan bertanya. Memastikan. Rembu mengangguk. Ia tidak mau Bulan hilang dari pandangan matanya. Ia ingin terus bersama Bulan. Rembu menggandeng tangan Bulan membawanya pergi dari rumah. Bulan tidak menolak. Ia bahkan tersenyum bahagia. Bisa bersama Rembu adalah hal terindah baginya. Bulan tidak peduli apapun lagi.
            Namun sepertinya nasib tidak berpihak baik pada Bulan maupun Rembu. Saat berusaha keluar dari rumah, ayah Bulan memergoki mereka. Ayah Bulan sangat murka melihat putri semata wayangnya dibawa oleh lelaki yang tak dikenal. Ayah Bulan mengajak Surya yang saat itu masih di rumah untuk mengejar Bulan dan Rembu. Bulan dan Rembu yang tahu kalau ayah Bulan dan Surya mengejar mereka, berlari lebih kencang.
            Malam itu awan mendung menutupi bulan separuh yang biasanya menggantung di langit kota. Angin bertiup cukup kencang menyampaikan kabar badai kan tiba. Tak lama suara guntur menggelegar sahut menyahut di susul hujan rintik-rintik. Rembu dan Bulan berlari menerobos hujan yang mulai deras. Mereka tidak peduli angin mulai kencang ataupun hujan yang sudah deras. Pikiran mereka hanya satu. Lari sejauh mungkin.
            Hujan deras memperpendek jarak pandang Bulan dan Rembu. Begitu pendeknya sampai-sampai mereka tidak menyadari saat sebuah mobil sedan melaju kencang dari arah berlawanan. Saat menyadarinya semua itu terlambat. Tubuh Rembu dan Bulan terpental cukup jauh saat bagian depan mobil menabrak tubuh mereka. Cairan merah kental mengalir dari kepala Bulan. Ia mengerang kesakitan. Di sisinya Rembu terbaring lemah. Keadaannnya tidak jauh lebih baik dari Bulan. Tubuhnya tergenang darah. Rembu bahkan tidak menjawab ketika Bulan dengan frustasi memanggil namanya. Rembu tetap bergeming tidak sadarkan diri. Bulan dengan sisa tenaganya berusaha membangunkan Rembu tapi  nihil. Rembu tetap diam. Bulan menangis. Di tengah tangisannya energinya habis, ia pun terjatuh tak sadarkan diri di sisi Rembu.
****
            Bulan membuka matanya. Sinar mentari langsung masuk ke bola matanya. Ia memincingkan mata mengatur banyaknya cahaya yang masuk. Bulan mengeluh pelan. Kepalanya masih terasa berdenyut-denyut. Tubuhnya seperti remuk, sangat sakit. Bulan mengedarkan pandangan ke seluruh ruang. Otaknya mulai bekerja mengidentifikasi dimana ia berada. Semua ruangan di cat putih. Sebuah selang infus terpasang di tangannya. Bulan paham ia berada di rumah sakit.
            Ingatannya mulai berjalan. Seperti film, kenangan itu kembali berputar di otak Bulan. Rembu yang membawanya pergi, perjodohan yang tak ia inginkan itu, kecelakaan itu. Rembu yang tergeletak tanpa daya. Rembu. Bulan tercekat. Dimana Rembu? Kenapa Rembu tak ada di sampingnya? Bulan panik. Ia mencoba turun dari ranjangnya, namun tubuhnya yang masih lemah membuatnya tak berdaya. Butiran air bening mengalir dari sudut matanya.
            “ Kamu udah sadar Bulan?” tanya Ayah tibs-tiba.
            “ Dimana Rembu yah?” tanya Bulan tanpa basa-basi.
            “ Sebaiknya kamu tidak usah tau dimana pemuda itu. Dia telah pergi jauh, kamu tidak mungkin bertemu dengannya lagi. “ jelas Ayah.
            “ Nggak mungkin! Nggak mungkin Rembu ninggalin aku. Ayah bohong! Ayah pasti bohong” teriak Bulan.
            “ Ayah kamu tidak bohong Bulan. Kamu tertidur berminggu-minggu dan Pemuda bernama Rembu itu sudah pergi.” kini Surya yang menjelaskan. Bulan hanya memandang Surya dan Ayahnya dengan sorot kesedihan. Ia masih tidak percaya Rembu meninggalkannya begitu saja. Mendadak Bulan kembali teringat kisah legenda kota mereka. Kisah tentang bulan sepenggal yang selalu menggantung di langit kota mereka. Kisah cinta Lun dan Nar yang tidak berujung bahagia. Sungguh mirip dengan kisahnya dengan Rembu. Nar yang menghilang dan Rembu yang pergi. Bulan menangis. Ia tidak ingin kisahnya berakhir seperti legenda kotanya. Tapi kenyataannya kisahnya dengan Rembu benar-benar telah berakhir. Dan akhir itu bukanlah akhir yang bahagia seperti cerita di dongeng-dongeng. Akhir kisahnya dengan Rembu berakhir sedih. Sesedih kisah bulan sepenggal.
            Beberapa minggu kemudian, Bulan telah pulih sepenuhnya. Ia kembali pulang. Fisiknya memang sembuh sempurna, tapi luka di hatinya tidak pernah terobati. Seberapa kerasnya Surya mencoba membuat Bulan tersenyum, gadis itu tidak pernah sedikitpun menarik kedua ujung bibirnya. Sorot matanya kosong, seperti sesuatu yang berharga telah terenggut darinya. Bulan berjalan gontai ke kamarnya. Tidak ada yang berubah dari kamarnya, kecuali sepucuk kertas yang terselip di antara jendela kamarnya. Bulan segera mengambil surat itu.
            Bulan satu hal yang lupa aku ceritakan padamu.Legenda bulan sepenggal itu tidaklah berakhir seperti yang aku ceritakan padamu. Memang benar Nar menghilang dari hadapan Lun, menyisakan luka mendalam di hati Lun. Tapi bukan berarti Nar meninggalkan sisi Lun. Ia selalu ada di sisi Lun. Mendampinginya di setiap langkahnya. Hanya saja Lun tidak pernah tahu itu. Ia bukannya tidak tahu, tapi ia tidak menyadarinya. Nar telah kehilangan seluruh cahayanya. Ia tidak bisa bercahaya bersama dengan Lun, membuat Lun tidak mampu untuk melihatnya. Namun meski begitu Nar tetap berada di samping Lun, menemaninya dalam setiap tangisnya. Mengusap air matanya tanpa sedikitpun Lun mengetahuinya. Begitulah denganku Bulan. Aku memang tidak lagi dalam jangkauan matamu. Tapi ingatlah aku selalu berada di sampingmu dan menemanimu, meski mungkin kau tidak akan menyadarinya. Aku hanya ingin kau tidak kehilangan cahayamu Bulan. Senyumanmu adalah cahayamu. Jika kau terus tersenyum siapa tahu dengan senyumanmu, dengan cahayamu kau bisa menerangiku. Saat ini kisah kita mungkin tak berakhir bahagia, tapi mungkin saja di lain kehidupan kisah kita akan berakhir bahagia. Seperti rembulan di kota kita. Selalu terlihat separuh, padahal sebenarnya ia purnama, hanya saja sebagian cahaya hilang membuat kita hanya melihatnya separuh. Tapi di kota lain kau akan melihat purnama sempurna.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar