Bulan
membulatkan mata. Ia tidak percaya Rembu mengajaknya pergi dari rumah. Padahal
kemarin malam ia menolaknya saat Bulan meminta Rembu membawanya pergi. Rembu
pun sangat tidak percaya ia mengajak Bulan pergi tanpa restu orang tuanya.
Rupanya rasa cintanya pada Bulan sudah mengalahkan akal sehatnya. Rembu tidak
mau kehilangan Bulan, karena itu ia harus mengambil keputusan.
“ Rembu kamu serius?” tanya Bulan.
Rembu mengangguk cepat. Ia kemudian membuka lebar lengannya meminta Bulan turun
dari kamarnya. Tanpa pikir panjang Bulan keluar dari kamarnya melalui jendela.
“ Kamu beneran mau bawa aku pergi?”
Bulan bertanya. Memastikan. Rembu mengangguk. Ia tidak mau Bulan hilang dari
pandangan matanya. Ia ingin terus bersama Bulan. Rembu menggandeng tangan Bulan
membawanya pergi dari rumah. Bulan tidak menolak. Ia bahkan tersenyum bahagia.
Bisa bersama Rembu adalah hal terindah baginya. Bulan tidak peduli apapun lagi.
Namun sepertinya nasib tidak
berpihak baik pada Bulan maupun Rembu. Saat berusaha keluar dari rumah, ayah
Bulan memergoki mereka. Ayah Bulan sangat murka melihat putri semata wayangnya
dibawa oleh lelaki yang tak dikenal. Ayah Bulan mengajak Surya yang saat itu
masih di rumah untuk mengejar Bulan dan Rembu. Bulan dan Rembu yang tahu kalau
ayah Bulan dan Surya mengejar mereka, berlari lebih kencang.
Malam itu awan mendung menutupi
bulan separuh yang biasanya menggantung di langit kota. Angin bertiup cukup
kencang menyampaikan kabar badai kan tiba. Tak lama suara guntur menggelegar
sahut menyahut di susul hujan rintik-rintik. Rembu dan Bulan berlari menerobos
hujan yang mulai deras. Mereka tidak peduli angin mulai kencang ataupun hujan
yang sudah deras. Pikiran mereka hanya satu. Lari sejauh mungkin.
Hujan deras memperpendek jarak
pandang Bulan dan Rembu. Begitu pendeknya sampai-sampai mereka tidak menyadari
saat sebuah mobil sedan melaju kencang dari arah berlawanan. Saat menyadarinya
semua itu terlambat. Tubuh Rembu dan Bulan terpental cukup jauh saat bagian
depan mobil menabrak tubuh mereka. Cairan merah kental mengalir dari kepala
Bulan. Ia mengerang kesakitan. Di sisinya Rembu terbaring lemah. Keadaannnya
tidak jauh lebih baik dari Bulan. Tubuhnya tergenang darah. Rembu bahkan tidak
menjawab ketika Bulan dengan frustasi memanggil namanya. Rembu tetap bergeming
tidak sadarkan diri. Bulan dengan sisa tenaganya berusaha membangunkan Rembu
tapi nihil. Rembu tetap diam. Bulan
menangis. Di tengah tangisannya energinya habis, ia pun terjatuh tak sadarkan
diri di sisi Rembu.
****
Bulan membuka matanya. Sinar mentari
langsung masuk ke bola matanya. Ia memincingkan mata mengatur banyaknya cahaya
yang masuk. Bulan mengeluh pelan. Kepalanya masih terasa berdenyut-denyut.
Tubuhnya seperti remuk, sangat sakit. Bulan mengedarkan pandangan ke seluruh
ruang. Otaknya mulai bekerja mengidentifikasi dimana ia berada. Semua ruangan
di cat putih. Sebuah selang infus terpasang di tangannya. Bulan paham ia berada
di rumah sakit.
Ingatannya mulai berjalan. Seperti
film, kenangan itu kembali berputar di otak Bulan. Rembu yang membawanya pergi,
perjodohan yang tak ia inginkan itu, kecelakaan itu. Rembu yang tergeletak
tanpa daya. Rembu. Bulan tercekat. Dimana Rembu? Kenapa Rembu tak ada di
sampingnya? Bulan panik. Ia mencoba turun dari ranjangnya, namun tubuhnya yang
masih lemah membuatnya tak berdaya. Butiran air bening mengalir dari sudut
matanya.
“ Kamu udah sadar Bulan?” tanya Ayah
tibs-tiba.
“ Dimana Rembu yah?” tanya Bulan tanpa
basa-basi.
“ Sebaiknya kamu tidak usah tau
dimana pemuda itu. Dia telah pergi jauh, kamu tidak mungkin bertemu dengannya
lagi. “ jelas Ayah.
“ Nggak mungkin! Nggak mungkin Rembu
ninggalin aku. Ayah bohong! Ayah pasti bohong” teriak Bulan.
“ Ayah kamu tidak bohong Bulan. Kamu
tertidur berminggu-minggu dan Pemuda bernama Rembu itu sudah pergi.” kini Surya
yang menjelaskan. Bulan hanya memandang Surya dan Ayahnya dengan sorot
kesedihan. Ia masih tidak percaya Rembu meninggalkannya begitu saja. Mendadak
Bulan kembali teringat kisah legenda kota mereka. Kisah tentang bulan sepenggal
yang selalu menggantung di langit kota mereka. Kisah cinta Lun dan Nar yang
tidak berujung bahagia. Sungguh mirip dengan kisahnya dengan Rembu. Nar yang
menghilang dan Rembu yang pergi. Bulan menangis. Ia tidak ingin kisahnya
berakhir seperti legenda kotanya. Tapi kenyataannya kisahnya dengan Rembu
benar-benar telah berakhir. Dan akhir itu bukanlah akhir yang bahagia seperti
cerita di dongeng-dongeng. Akhir kisahnya dengan Rembu berakhir sedih. Sesedih
kisah bulan sepenggal.
Beberapa minggu kemudian, Bulan
telah pulih sepenuhnya. Ia kembali pulang. Fisiknya memang sembuh sempurna,
tapi luka di hatinya tidak pernah terobati. Seberapa kerasnya Surya mencoba
membuat Bulan tersenyum, gadis itu tidak pernah sedikitpun menarik kedua ujung
bibirnya. Sorot matanya kosong, seperti sesuatu yang berharga telah terenggut
darinya. Bulan berjalan gontai ke kamarnya. Tidak ada yang berubah dari
kamarnya, kecuali sepucuk kertas yang terselip di antara jendela kamarnya.
Bulan segera mengambil surat itu.
“ Bulan satu hal yang lupa aku ceritakan padamu.Legenda bulan sepenggal
itu tidaklah berakhir seperti yang aku ceritakan padamu. Memang benar Nar menghilang
dari hadapan Lun, menyisakan luka mendalam di hati Lun. Tapi bukan berarti Nar
meninggalkan sisi Lun. Ia selalu ada di sisi Lun. Mendampinginya di setiap
langkahnya. Hanya saja Lun tidak pernah tahu itu. Ia bukannya tidak tahu, tapi
ia tidak menyadarinya. Nar telah kehilangan seluruh cahayanya. Ia tidak bisa
bercahaya bersama dengan Lun, membuat Lun tidak mampu untuk melihatnya. Namun
meski begitu Nar tetap berada di samping Lun, menemaninya dalam setiap
tangisnya. Mengusap air matanya tanpa sedikitpun Lun mengetahuinya. Begitulah
denganku Bulan. Aku memang tidak lagi dalam jangkauan matamu. Tapi ingatlah aku
selalu berada di sampingmu dan menemanimu, meski mungkin kau tidak akan
menyadarinya. Aku hanya ingin kau tidak kehilangan cahayamu Bulan. Senyumanmu
adalah cahayamu. Jika kau terus tersenyum siapa tahu dengan senyumanmu, dengan
cahayamu kau bisa menerangiku. Saat ini kisah kita mungkin tak berakhir
bahagia, tapi mungkin saja di lain kehidupan kisah kita akan berakhir bahagia. Seperti
rembulan di kota kita. Selalu terlihat separuh, padahal sebenarnya ia purnama,
hanya saja sebagian cahaya hilang membuat kita hanya melihatnya separuh. Tapi
di kota lain kau akan melihat purnama sempurna.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar