Minggu, 15 November 2015

Sad Melody (Part 4)



Mengganggu. Itulah  yang beberapa hari ini Meilan lakukan kepadaku. Ku kira setelah aku memberitahunya untuk tidak muncul dihadapanku lagi, gadis itu akan kapok. Ternyata dugaanku salah besar. Ia sangat keras kepala. Bahkan setelah aku mengucapkan kata-kata kejam itu, ia tidak juga mundur, melainkan terus muncul di hadapanku sampai tahap kemunculannya menjadi menyebalkan dan menganggu. Setiap kemunculannya di hadapanku selalu sama pula hal yang diinginkannya. Bermain piano bersamaku. Tak peduli betapa kerasnya aku menolak permintaannya, ia selalu saja menanyakan hal yang sama.

            Bel pulang sekolah sudah berbunyi lima menit yang lalu. Aku mendesah gelisah. Sesegera mungkin aku ingin keluar dari ruangan ini, tapi tugas kelompok yang belum selesai membuatku harus tetap tinggal lebih lama. Aku melirik sekilas jam dinding di kelas. Pasti sebentar lagi ia muncul. Aku semakin mempercepat pekerjaanku. Dan tepat sekali dugaanku. Tepat ketika aku menyelesaikan tugasku dan bersiap pulang, Meilan datang menyapa dengan suara super cemprengnya.
            “ Kak Deni!” panggilnya. Aku mendecikan lidah kesal. Gagal sudah rencanaku kabur dari Meilan. Ia kini sudah berdiri di hadapanku. Meskipun tubuhnya jauh lebih kecil dariku, entah mengapa rasanya aku tidak mampu untuk melarikan diri darinya.
            “ Ada apa?” tanyaku sedatar mungkin.
            “ Ajari aku main piano.” pintanya langsung. Aku mendengus.
            “ Nggak mau. Sudah kubilang beratus-ratus kali aku udah berhenti jadi pianis.”
            “ Aku hanya minta diajari bukan minta kakak untuk konser.” protesnya. Aku mengernyitkan dahi. Apa maksudnya? Tampaknya Meilan mengerti kebingunganku. Ia kemudian berkata lagi.
            “ Kak Deni kan hanya bilang berhenti jadi pianis, bukan berhenti bermain piano.”
            “ Kalau begitu aku akan mengoreksi pernyataanku. Selain berhenti jadi pianis aku juga berhenti bermain piano. Dan aku membenci suara piano Puas?” Aku melangkah meninggalkan Meilan yang masih terdiam. Belum jauh jarakku darinya, ia sudah keburu menarik tanganku keras. Begitu keras sampai-sampai aku hampir terjengkal. Aku mendelik jengkel sudah bersiap memarahinya.
            “ Kakak Bohong!” Aku terdiam. “ Kalau kakak memang benci suara piano, kenapa saat pertama kali aku memainkannya di ruang musik, mata kakak terlihat begitu bersinar, seolah kakak sedang melepas rindu?” lanjutnya. Aku membelalak tak percaya.
            “ Aku merindukan piano, yang benar saja. Mungkin saat itu kamu salah liat. Aku sama sekali tidak merindukannya. Sudah kubilang bukan aku membencinya!” seruku sambil meninggalkan Meilan. Kini Meilan tidak lagi mengejarku. Dari sudut mataku aku melihatnya terdiam membeku di tempatnya. Yang membuatku tidak tenang adalah ekspresi wajahnya yang terlihat begitu sedih. Apa aku bicara terlalu kejam padanya? Rasanya tidak. Aku memang mengucapkan apa yang terlintas dan kurasakan.
            Aku menghembuskan napas berat. Gelisah. Entah mengapa aku merasakan gelisah. Wajah sedih Meilan yang kulihat tadi sore tak mampu musnah dari kepalaku. Awalnya aku memang merasa tenang dan senang ia tak menyusulku dan mengangguku. Di rumah pun ia tidak lagi menggedor-gedor kamar kosku dan memintaku mengajarinya. Tapi lama kelamaan rasa tenang itu mulai berganti menjadi rasa bersalah. Aku mulai berpikir kata-kataku padanya tadi sore terlalu kejam dan membuatnya terluka. Rasa bersalah itu semakin lama semakin bersar membuatku menjadi begitu gelisah.
            Aku melangkahkan kaki ke luar kamar. Langkah kakiku membawaku menuju kamar Meilan yang terletak cukup jauh dari kamarku. Entah apa yang kupikirkan. Aku pun tak mengerti kenapa langkah kakiku membawaku kemari. Aku mengangkat tanganku berniat mengetuk pintu. Tapi gerakan tanganku berhenti di udara. Apa yang mau kukatakan padanya kalau ia membuka pintu. Minta maaf kah, tapi untuk apa? Aku meremas kepalaku frustasi. Baru saja tadi aku merasa bersalah, tetapi kenapa saat aku mencoba untuk meminta maaf rasanya tidak tepat.
            Aku terdiam cukup lama di depan pintu kamar Meilan, masih kebingungan apa yang harus kuperbuat. Sebuah sentuhan hangat di pundakku membuatku terlonjak. Aku segera menoleh dan mendapati Meilan berdiri di hadapanku. Ia memandangku bingung. Aku tersenyum kaku salah tingkah.
            “ Apa yang kakak lakukan di depan kamarku?” tanyanya.
            “ Ehmm itu,” aku mencoba berpikir mencari alasan. Tapi otakku rasanya buntu, tidak ada alasan yang bisa kuungkapkan. “ Aku sebenarnya ingin minta maaf .” kataku. Meilan menaikan satu alisnya.
            “ Untuk apa kakak minta maaf? Kakak kan nggak salah apa-apa .”
            “ Yah, sepertinya kata-kataku tadi sore terlalu kasar. Aku minta maaf.” ucapku tulus.
            “ Kalau aku nggak mau memaafkan kakak gimana?” tanyanya. Aku menelan ludah.
            “ Eh?”
            “ Baiklah aku mau maafin kak Deni asalkan kak Deni ajarin aku main piano, sekali aja, gimana?” tawarnya. Aku ingin sekali menolak, tapi demi melihat bola matanya yang begitu bersinar akhirnya aku menganggukan kepalaku. Meilan melonjak senang.
            “ Kalau begitu besok sore sehabis kakak pulang sekolah di ruang musik SMA kakak ya.” ucapnya. Aku mengangguk pasrah. Mungkin sesekali menurutinya bukanlah hal yang buruk.
            “ Mei,” panggilku. Meilan menoleh menatapku. “ Kamu benar, aku memang berbohong soal aku membenci suara piano.” ucapku. Meilan tersenyum. “ Aku tau.” sahutnya pendek.
****
            Sore itu seperti yang kujanjikan pada Meilan, aku akan mengajarinya bermain piano. Meilan terlihat sangat bersemangat. Ia bahkan sudah sampai di ruang musik ketika aku sampai. Terkadang aku heran, kenapa siswa SMP sepertinya mudah sekali masuk ke SMA ku. Meilan tersenyum lebar begitu melihat sosokku. Aku hanya melambaikan tanganku malas.
            “ Jadi apa yang ingin kamu pelajari? Dari yang pernah aku dengar permainanmu cukup bagus Mei, memang ada beberapa bagian yang salah, tapi kurasa nggak masalah.” kataku.
            “ Aku ingin jadi lebih baik, makanya aku latian keras. Tapi kalau hanya sendiri rasanya percuma, makanya aku ingin Kak Deni mengajariku.” Aku mengangguk sangsi. Aku saja tidak yakin bisa mengajarinya.
            “ Jadi mana lagu yang ingin kamu mainkan?” tanyaku lagi. Meilan menunjuk sebuah lagu. Aku mengangguk. Aku mengambil napas dalam-dalam. Aku mulai menekan tuts-tuts piano membuatnya mengeluarkan nada-nada indah. Aku menghela napas. Sejauh ini masih lancar. Aku terus menekan tuts-tuts piano. Baru saja sampai di tengah lagi, tiba-tiba saja kenangan itu kembali muncul. Wajah Denia. Jantungku kembali berdetak begitu kencang. Napasku sesak. Keringat dingin keluar dari pori-pori tubuhku. Otakku tak mampu berkonsentrasi pada permainan pianoku. Suara sumbang terdengar. Aku tersengal. Kenangan itu kembali hadir membayangiku, membuatku tidak mampu bergerak. Adegan Denia melompat di depan mataku tanpa mampu kucegah berunglang kali berputar, seolah berada dalam suatu loop yang tidak ada jalan keluarnya. Kepalaku terasa begitu berat. Tubuhku lemas.
            “ Denia.” bisikku pelan. Aku terjatuh dari tempat dudukku. Meilan terperanjat. Raut wajahnya begitu panik. Ia tampak merapalkan sesuatu, tapi aku tak dapat mendengarnya. Semakin lama aku semakin kehilangan kesadaranku. Oksigen di kepalaku rasanya berkurang drastis membuat segalanya gelap.

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar