Mengganggu.
Itulah yang beberapa hari ini Meilan
lakukan kepadaku. Ku kira setelah aku memberitahunya untuk tidak muncul
dihadapanku lagi, gadis itu akan kapok. Ternyata dugaanku salah besar. Ia
sangat keras kepala. Bahkan setelah aku mengucapkan kata-kata kejam itu, ia
tidak juga mundur, melainkan terus muncul di hadapanku sampai tahap kemunculannya
menjadi menyebalkan dan menganggu. Setiap kemunculannya di hadapanku selalu
sama pula hal yang diinginkannya. Bermain piano bersamaku. Tak peduli betapa
kerasnya aku menolak permintaannya, ia selalu saja menanyakan hal yang sama.
Bel pulang sekolah sudah berbunyi lima
menit yang lalu. Aku mendesah gelisah. Sesegera mungkin aku ingin keluar dari
ruangan ini, tapi tugas kelompok yang belum selesai membuatku harus tetap
tinggal lebih lama. Aku melirik sekilas jam dinding di kelas. Pasti sebentar
lagi ia muncul. Aku semakin mempercepat pekerjaanku. Dan tepat sekali dugaanku.
Tepat ketika aku menyelesaikan tugasku dan bersiap pulang, Meilan datang menyapa
dengan suara super cemprengnya.
“ Kak Deni!” panggilnya. Aku
mendecikan lidah kesal. Gagal sudah rencanaku kabur dari Meilan. Ia kini sudah
berdiri di hadapanku. Meskipun tubuhnya jauh lebih kecil dariku, entah mengapa
rasanya aku tidak mampu untuk melarikan diri darinya.
“ Ada apa?” tanyaku sedatar mungkin.
“ Ajari aku main piano.” pintanya
langsung. Aku mendengus.
“ Nggak mau. Sudah kubilang
beratus-ratus kali aku udah berhenti jadi pianis.”
“ Aku hanya minta diajari bukan
minta kakak untuk konser.” protesnya. Aku mengernyitkan dahi. Apa maksudnya?
Tampaknya Meilan mengerti kebingunganku. Ia kemudian berkata lagi.
“ Kak Deni kan hanya bilang berhenti
jadi pianis, bukan berhenti bermain piano.”
“ Kalau begitu aku akan mengoreksi
pernyataanku. Selain berhenti jadi pianis aku juga berhenti bermain piano. Dan
aku membenci suara piano Puas?” Aku melangkah meninggalkan Meilan yang masih
terdiam. Belum jauh jarakku darinya, ia sudah keburu menarik tanganku keras.
Begitu keras sampai-sampai aku hampir terjengkal. Aku mendelik jengkel sudah
bersiap memarahinya.
“ Kakak Bohong!” Aku terdiam. “
Kalau kakak memang benci suara piano, kenapa saat pertama kali aku memainkannya
di ruang musik, mata kakak terlihat begitu bersinar, seolah kakak sedang melepas
rindu?” lanjutnya. Aku membelalak tak percaya.
“ Aku merindukan piano, yang benar
saja. Mungkin saat itu kamu salah liat. Aku sama sekali tidak merindukannya.
Sudah kubilang bukan aku membencinya!” seruku sambil meninggalkan Meilan. Kini
Meilan tidak lagi mengejarku. Dari sudut mataku aku melihatnya terdiam membeku
di tempatnya. Yang membuatku tidak tenang adalah ekspresi wajahnya yang
terlihat begitu sedih. Apa aku bicara terlalu kejam padanya? Rasanya tidak. Aku
memang mengucapkan apa yang terlintas dan kurasakan.
Aku menghembuskan napas berat.
Gelisah. Entah mengapa aku merasakan gelisah. Wajah sedih Meilan yang kulihat
tadi sore tak mampu musnah dari kepalaku. Awalnya aku memang merasa tenang dan
senang ia tak menyusulku dan mengangguku. Di rumah pun ia tidak lagi
menggedor-gedor kamar kosku dan memintaku mengajarinya. Tapi lama kelamaan rasa
tenang itu mulai berganti menjadi rasa bersalah. Aku mulai berpikir kata-kataku
padanya tadi sore terlalu kejam dan membuatnya terluka. Rasa bersalah itu
semakin lama semakin bersar membuatku menjadi begitu gelisah.
Aku melangkahkan kaki ke luar kamar.
Langkah kakiku membawaku menuju kamar Meilan yang terletak cukup jauh dari
kamarku. Entah apa yang kupikirkan. Aku pun tak mengerti kenapa langkah kakiku
membawaku kemari. Aku mengangkat tanganku berniat mengetuk pintu. Tapi gerakan
tanganku berhenti di udara. Apa yang mau kukatakan padanya kalau ia membuka
pintu. Minta maaf kah, tapi untuk apa? Aku meremas kepalaku frustasi. Baru saja
tadi aku merasa bersalah, tetapi kenapa saat aku mencoba untuk meminta maaf
rasanya tidak tepat.
Aku terdiam cukup lama di depan
pintu kamar Meilan, masih kebingungan apa yang harus kuperbuat. Sebuah sentuhan
hangat di pundakku membuatku terlonjak. Aku segera menoleh dan mendapati Meilan
berdiri di hadapanku. Ia memandangku bingung. Aku tersenyum kaku salah tingkah.
“ Apa yang kakak lakukan di depan
kamarku?” tanyanya.
“ Ehmm itu,” aku mencoba berpikir
mencari alasan. Tapi otakku rasanya buntu, tidak ada alasan yang bisa
kuungkapkan. “ Aku sebenarnya ingin minta maaf .” kataku. Meilan menaikan satu
alisnya.
“ Untuk apa kakak minta maaf? Kakak
kan nggak salah apa-apa .”
“ Yah, sepertinya kata-kataku tadi
sore terlalu kasar. Aku minta maaf.” ucapku tulus.
“ Kalau aku nggak mau memaafkan
kakak gimana?” tanyanya. Aku menelan ludah.
“ Eh?”
“ Baiklah aku mau maafin kak Deni
asalkan kak Deni ajarin aku main piano, sekali aja, gimana?” tawarnya. Aku
ingin sekali menolak, tapi demi melihat bola matanya yang begitu bersinar
akhirnya aku menganggukan kepalaku. Meilan melonjak senang.
“ Kalau begitu besok sore sehabis
kakak pulang sekolah di ruang musik SMA kakak ya.” ucapnya. Aku mengangguk
pasrah. Mungkin sesekali menurutinya bukanlah hal yang buruk.
“ Mei,” panggilku. Meilan menoleh
menatapku. “ Kamu benar, aku memang berbohong soal aku membenci suara piano.”
ucapku. Meilan tersenyum. “ Aku tau.” sahutnya pendek.
****
Sore itu seperti yang kujanjikan
pada Meilan, aku akan mengajarinya bermain piano. Meilan terlihat sangat
bersemangat. Ia bahkan sudah sampai di ruang musik ketika aku sampai. Terkadang
aku heran, kenapa siswa SMP sepertinya mudah sekali masuk ke SMA ku. Meilan
tersenyum lebar begitu melihat sosokku. Aku hanya melambaikan tanganku malas.
“ Jadi apa yang ingin kamu pelajari?
Dari yang pernah aku dengar permainanmu cukup bagus Mei, memang ada beberapa
bagian yang salah, tapi kurasa nggak masalah.” kataku.
“ Aku ingin jadi lebih baik, makanya
aku latian keras. Tapi kalau hanya sendiri rasanya percuma, makanya aku ingin
Kak Deni mengajariku.” Aku mengangguk sangsi. Aku saja tidak yakin bisa
mengajarinya.
“ Jadi mana lagu yang ingin kamu
mainkan?” tanyaku lagi. Meilan menunjuk sebuah lagu. Aku mengangguk. Aku
mengambil napas dalam-dalam. Aku mulai menekan tuts-tuts piano membuatnya
mengeluarkan nada-nada indah. Aku menghela napas. Sejauh ini masih lancar. Aku
terus menekan tuts-tuts piano. Baru saja sampai di tengah lagi, tiba-tiba saja
kenangan itu kembali muncul. Wajah Denia. Jantungku kembali berdetak begitu
kencang. Napasku sesak. Keringat dingin keluar dari pori-pori tubuhku. Otakku
tak mampu berkonsentrasi pada permainan pianoku. Suara sumbang terdengar. Aku
tersengal. Kenangan itu kembali hadir membayangiku, membuatku tidak mampu
bergerak. Adegan Denia melompat di depan mataku tanpa mampu kucegah berunglang
kali berputar, seolah berada dalam suatu loop
yang tidak ada jalan keluarnya. Kepalaku terasa begitu berat. Tubuhku lemas.
“ Denia.” bisikku pelan. Aku
terjatuh dari tempat dudukku. Meilan terperanjat. Raut wajahnya begitu panik.
Ia tampak merapalkan sesuatu, tapi aku tak dapat mendengarnya. Semakin lama aku
semakin kehilangan kesadaranku. Oksigen di kepalaku rasanya berkurang drastis
membuat segalanya gelap.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar