“
Yo Kak Deni!” sapa Meilan membuatku tersentak kaget. Meilan tertawa berderai
melihatku terkejut melihatnya. Bagaimana tidak Meilan adalah anak SMP. Mau apa
dia di jam pulang sekolah ini malah muncul di kelasku, masih lengkap dengan
seragamnya pula. Aku menarik lengan Meilan menjauh dari kelas.
“ Apa yang kamu lakukan di sini?
Bukannya kamu itu anak SMP?” tanyaku. Meilan hanya nyengir memamerkan deretan
giginya yang tersusun abstrak.
“ Tentu aja aku dateng nemuin Kak
Deni, memang ada alasan lain?” tanyanya sok polos. Aku menggeram kesal.
“ Iya, terus mau apa kamu nemuin
aku? Bukannya kita baru ketemu sekali. Memang kamu dan aku udah jadi temen
deket?” Meilan mengembungkan pipinya mendengar pertanyaanku. Kalau suasana
hatiku sedang baik, ia tentu terlihat menggemaskan. Sayangnya suasana hatiku
sedang buruk hari ini. Melihatnya mengembungkan pipinya malah terlihat menjengkelkan
.
“ Emangnya kalo baru ketemu sekali
aku nggak boleh ketemu Kak Deni lagi. Kan kemarin aku udah bilang aku ini fans
kakak. Boleh dong aku minta ajarin main piano. Lagipula di SMPku nggak ada
piano.”
Aku menatapnya setengah tidak
percaya. Rasanya kemarin baru saja kubilang aku sudah tidak lagi bermain piano.
“ Bukankah aku udah bilang aku udah berhenti bermain piano?”
“ Eh jadi yang kemarin itu beneran?
Ku kira kakak hanya bercanda aja. Kenapa kakak berhenti bermain piano? Padahal
permainan kakak begitu indah.” Aku hanya mendiamkan pertanyaan Meilan. Meilan
masih menatapku penuh keingintahuan. Sungguh keras kepala. Aku membiarkan
Meilan yang masih saja menatapku penasaran. Bukan urusanku. Aku melirik sekilas
sekelilingku. Koridor sekolah mulai sepi. Aku membalikan badanku, pulang.
“ Eh Kak Deni mau kemana?” teriak
Meilan.
“ Pulang.” jawabku datar.
“ Latian pianonya gimana dong?”
tanyanya lagi masih berteriak.
“ Latian aja sendiri.” jawabku
sekenangnya. Aku segera melangkahkan kakiku keluar dari sekolah sebelum Meilan
bertindak semena-mena. Dari perilakunya yang begitu berani datang ke SMA tidak
mengherankan jika ia berani menyeretku ke ruang musik untuk mengajarinya bermain
piano. Aku bergidig ngeri membayangkan kemungkinan itu. Aku mempercepat
langkahku. Tiba-tiba suara piano kembali terdengar di telingaku. Suara yang
terdengar ini bukanlah sayup-sayup seperti yang kudengar kemarin. Suara piano
yang ku dengar kali ini begitu jelas, seolah seseorang memainkannya di dekatku.
Tunggu. Ini bukanlah suara piano, melainkan.
Aku membalikan tubuhku. Di hadapanku
kembali Meilan berdiri memainkan pianika. Lagu yang ia mainkan mengalun indah.
Meilan memandangku sambil terus memainkan lagunya. Ia tampak sangat menikmati
permainan pianikanya. Aku hanya bisa menatapnya tanpa berucap. Kalau boleh,
sebenarnya ingin aku pergi dari hadapannya. Tapi entah mengapa kakiku tak mampu
digerakan. Seolah permainannya begitu menyedot perhatianku sampai-sampai aku
tak mampu beranjak. Tapi itu hanya terjadi sementara. Belum terlalu lama aku
mendengar suara pianikanya, kenangan itu kembali hadir. Saat-saat Denia
memainkan lagu terakhir kali, suara nada pianika yang ia mainkan untuk terakhir
kalinya, dan ketidakberdayaanku.
Jantungku mulai berdetak begitu
kencang, tidak beraturan. Napasku sesak dan terasa berat. Keringat dingin mulai
membanjiri sekujur tubuhku. Meilan yang sepertinya tidak menyadari kondisiku
masih saja memainkan pianika dengan semangat. Ingin aku menghentikan
permainannya, tapi suaraku tidak mau keluar. Aku butuh oksigen untuk bernapas,
meskipun banyak oksigen di sekitarku, namun rasanya paru-paruku tak mau
menerimanya. Aku kehilangan titik tumpu keseimbanganku. Tubuhku goyah. Aku
terjatuh terduduk kehilangan semua tenagaku. Napasku terngah-engah. Melihat
keadaanku barulah Meilan menghentikan permainannya. Dengan wajah khawatir ia
membantuku berdiri.
“ Kakak nggak apa-apa?”tanyanya
sambil mengulurkan tangan. Aku menepis uluran tangan Meilan. Aku mengambil
napas dalam-dalam mencoba menenangkan diri. Suara itu sudah tidak terdengar lagi.
Napasku mulai teratur, irama jantungku mulai berdetak seperti biasanya.
“ Jangan pernah muncul di hadapanku
lagi!” desisku sambil menatapnya tajam. Meilan tercekat. Ia hanya terdiam
mendengar perintahku. Wajahnya menunjukan ekspresi kekagetan dan ketidakpercayaan.
Tapi aku tidak peduli. Aku merasa jika aku terus berada di dekatnya, bayangan
tentang Denia akan selalu menghantuiku. Setiap kali mendengarnya bermain piano
atau pianika, rasa bersalah dan kenangan yang selalu aku ingin lupakan mendadak
meluap kembali membuatku tak mampu melakukan apa pun.
“ K..Kak Deni.” panggil Meilan, tapi
aku tak menghiraukannya. Aku tidak ingin berurusan dengan semua orang yang
berhubungan dengan musik atau piano. Seharusnya aku tidak pernah pergi ke ruang
musik dan mendengarnya bermain piano. Mendengarkannya hanya mengingatkanku pada
kenangan yang seharusnya berhasil kulupakan. Aku tertawa miris. Aku bahkan
tidak pernah melupakannya, aku hanya melarikan diri saja. Melarikan diri dari
segala hal yang bisa membuatku tersakiti. Nyatanya aku hanyalah seorang
pengecut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar