Sabtu, 14 November 2015

Sad Melody (Part 3)



“ Yo Kak Deni!” sapa Meilan membuatku tersentak kaget. Meilan tertawa berderai melihatku terkejut melihatnya. Bagaimana tidak Meilan adalah anak SMP. Mau apa dia di jam pulang sekolah ini malah muncul di kelasku, masih lengkap dengan seragamnya pula. Aku menarik lengan Meilan menjauh dari kelas.
            “ Apa yang kamu lakukan di sini? Bukannya kamu itu anak SMP?” tanyaku. Meilan hanya nyengir memamerkan deretan giginya yang tersusun abstrak.
            “ Tentu aja aku dateng nemuin Kak Deni, memang ada alasan lain?” tanyanya sok polos. Aku menggeram kesal.
            “ Iya, terus mau apa kamu nemuin aku? Bukannya kita baru ketemu sekali. Memang kamu dan aku udah jadi temen deket?” Meilan mengembungkan pipinya mendengar pertanyaanku. Kalau suasana hatiku sedang baik, ia tentu terlihat menggemaskan. Sayangnya suasana hatiku sedang buruk hari ini. Melihatnya mengembungkan pipinya malah terlihat menjengkelkan
.
            “ Emangnya kalo baru ketemu sekali aku nggak boleh ketemu Kak Deni lagi. Kan kemarin aku udah bilang aku ini fans kakak. Boleh dong aku minta ajarin main piano. Lagipula di SMPku nggak ada piano.”
            Aku menatapnya setengah tidak percaya. Rasanya kemarin baru saja kubilang aku sudah tidak lagi bermain piano.
            “ Bukankah aku udah bilang aku  udah berhenti bermain piano?”
            “ Eh jadi yang kemarin itu beneran? Ku kira kakak hanya bercanda aja. Kenapa kakak berhenti bermain piano? Padahal permainan kakak begitu indah.” Aku hanya mendiamkan pertanyaan Meilan. Meilan masih menatapku penuh keingintahuan. Sungguh keras kepala. Aku membiarkan Meilan yang masih saja menatapku penasaran. Bukan urusanku. Aku melirik sekilas sekelilingku. Koridor sekolah mulai sepi. Aku membalikan badanku, pulang.
            “ Eh Kak Deni mau kemana?” teriak Meilan.
            “ Pulang.” jawabku datar.
            “ Latian pianonya gimana dong?” tanyanya lagi masih berteriak.
            “ Latian aja sendiri.” jawabku sekenangnya. Aku segera melangkahkan kakiku keluar dari sekolah sebelum Meilan bertindak semena-mena. Dari perilakunya yang begitu berani datang ke SMA tidak mengherankan jika ia berani menyeretku ke ruang musik untuk mengajarinya bermain piano. Aku bergidig ngeri membayangkan kemungkinan itu. Aku mempercepat langkahku. Tiba-tiba suara piano kembali terdengar di telingaku. Suara yang terdengar ini bukanlah sayup-sayup seperti yang kudengar kemarin. Suara piano yang ku dengar kali ini begitu jelas, seolah seseorang memainkannya di dekatku. Tunggu. Ini bukanlah suara piano, melainkan.
            Aku membalikan tubuhku. Di hadapanku kembali Meilan berdiri memainkan pianika. Lagu yang ia mainkan mengalun indah. Meilan memandangku sambil terus memainkan lagunya. Ia tampak sangat menikmati permainan pianikanya. Aku hanya bisa menatapnya tanpa berucap. Kalau boleh, sebenarnya ingin aku pergi dari hadapannya. Tapi entah mengapa kakiku tak mampu digerakan. Seolah permainannya begitu menyedot perhatianku sampai-sampai aku tak mampu beranjak. Tapi itu hanya terjadi sementara. Belum terlalu lama aku mendengar suara pianikanya, kenangan itu kembali hadir. Saat-saat Denia memainkan lagu terakhir kali, suara nada pianika yang ia mainkan untuk terakhir kalinya, dan ketidakberdayaanku.
            Jantungku mulai berdetak begitu kencang, tidak beraturan. Napasku sesak dan terasa berat. Keringat dingin mulai membanjiri sekujur tubuhku. Meilan yang sepertinya tidak menyadari kondisiku masih saja memainkan pianika dengan semangat. Ingin aku menghentikan permainannya, tapi suaraku tidak mau keluar. Aku butuh oksigen untuk bernapas, meskipun banyak oksigen di sekitarku, namun rasanya paru-paruku tak mau menerimanya. Aku kehilangan titik tumpu keseimbanganku. Tubuhku goyah. Aku terjatuh terduduk kehilangan semua tenagaku. Napasku terngah-engah. Melihat keadaanku barulah Meilan menghentikan permainannya. Dengan wajah khawatir ia membantuku berdiri.
            “ Kakak nggak apa-apa?”tanyanya sambil mengulurkan tangan. Aku menepis uluran tangan Meilan. Aku mengambil napas dalam-dalam mencoba menenangkan diri. Suara itu sudah tidak terdengar lagi. Napasku mulai teratur, irama jantungku mulai berdetak seperti biasanya.
            “ Jangan pernah muncul di hadapanku lagi!” desisku sambil menatapnya tajam. Meilan tercekat. Ia hanya terdiam mendengar perintahku. Wajahnya menunjukan ekspresi kekagetan dan ketidakpercayaan. Tapi aku tidak peduli. Aku merasa jika aku terus berada di dekatnya, bayangan tentang Denia akan selalu menghantuiku. Setiap kali mendengarnya bermain piano atau pianika, rasa bersalah dan kenangan yang selalu aku ingin lupakan mendadak meluap kembali membuatku tak mampu melakukan apa pun.
            “ K..Kak Deni.” panggil Meilan, tapi aku tak menghiraukannya. Aku tidak ingin berurusan dengan semua orang yang berhubungan dengan musik atau piano. Seharusnya aku tidak pernah pergi ke ruang musik dan mendengarnya bermain piano. Mendengarkannya hanya mengingatkanku pada kenangan yang seharusnya berhasil kulupakan. Aku tertawa miris. Aku bahkan tidak pernah melupakannya, aku hanya melarikan diri saja. Melarikan diri dari segala hal yang bisa membuatku tersakiti. Nyatanya aku hanyalah seorang pengecut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar