Aku berlari kesetanan. Sebuah pesan
yang masuk ke ponselku merupakan alasan mengapa kini aku berlari seperti tak
ada hari esok. Pesan itu singkat saja, tapi mampu membuatku begitu panik,
begitu kaget. Aku melirik jam tangan yang melingkar indah di tanganku. Baru 10
menit berlalu sejak pesan itu kuterima. Napasku tersengal-sengal, menaiki
tangga untuk mencapai atap ternyata mampu membuat energiku terkuras. Aku
membuka pintu atap. Seorang gadis dengan mata sendu berdiri seolah menanti
kedatanganku.
Gadis
itu tersenyum tipis. Rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin. Di
tangannya ia memegang sebuah pianika. Sesaat setelah melihatku, ia mulai
memainkan pianika itu. Melodi-melodi yang keluar dari pianika itu adalah bagian
dari lagu yang aku dan ia mainkan tempo hari. Aku terpana sekaligus tidak
mengerti. Yang membuatku tidak mengerti mengapa ia jauh-jauh mengundangku
kemari hanya untuk menunjukan permainannya. Tapi mendadak aku membeku, ketika
ia memainkan melodi dari sebuah lagu. Requiem. Gadis itu memainkan requiem dari
pianikanya sambil berjalan mundur. Aku mulai merasa ada yang tidak beres
dengannya segera menyusul mendekatinya.
Gadis
itu kini berdiri tepat di pinggir atap. Ia masih memainkan melodi-melodi dengan
pianikanya. Saat berhenti memainkannya, gadis itu menatapku dengan pandangan
yang tampak begitu sedih. Bola matanya yang biasanya terlihat bercahaya kini
meredup hanya meninggalkan kesedihan. Aku menelan ludah tak mampu berkata-kata.
Gadis itu kembali menyunggingkan senyuman. Tapi senyuman itu bukanlah senyuman
bahagia sebagaimana mestinya. Senyuman itu menyiratkan kesedihan. Gadis itu
berjalan semakin di tepi atap. Aku ingin menghentikannya, tapi bibirku kelu,
tubuhku seolah membeku tak mampu digerakkan. Sebuah kata darinya membuatku
terbelalak.
“
Selamat tinggal Den,” Gadis itu langsung menjatuhkan diri ke bawah setelah ia
mengucapkan kata perpisahannya. Aku berteriak kencang menahannya. Tapi
terlambat tubuh mungil itu sudah terjatuh. Aku terlambat.
Aku membuka mataku. Sepanjang mataku
melihat hanya warna putih yang tertangkap oleh mataku. Mataku menyipit silau
oleh banyaknya cahaya lampu yang masuk ke mataku. Otakku mulai merangkai
kejadian yang aku alami.Hal terakhir yang kuingat hanyalah permainan piano seorang
anak SMP di ruang musik. Setelah itu aku sepertinya kehilangan kesadaran.
“ Syukurlah kakak udah bangun!” seru
gadis SMP itu. Aku mencoba mengingat namanya. Meilan. Ya nama gadis itu Mei.
“ Makasih, apa kamu yang membawaku
ke sini?” aku bertany a sangsi. Rasanya hampir mustahil anak berumur 14 tahunan
dengan tubuh kurus begitu bisa mengangkatku. Mei menggeleng cepat.
“ Yang benar saja, mana bisa aku
ngangkat kakak sampai ke sini. Tadi aku minta tolong sama pak penjaga sekolah.”
jawabnya. Aku mengangguk. Memalukan sekali pingsan di depan anak SMP. Bisa-bisa
dia menganggapku lemah.
“ Kakak sakit apa kok bisa sampai
pingsan?” tanyanya lagi.
“ Aku nggak sakit apa-apa kok,
mungkin hanya kelelahan.” aku menjawab. Bohong. Tidak mungkin aku mengatakan
padanya aku pingsan karena mendengar suara pianonya. Semenjak Denia meninggal,
aku selalu merasa berdebar-debar dan ketakutan ketika mendengar seseorang
memainkan piano. Rasa bersalah dan trauma membuatku tak mampu lagi menekan
tuts-tuts piano dan mendengarnya. Setelah Denia meninggal aku bahkan
meninggalkan piano dan pindah ke tempat dimana tidak ada satu orangpun yang
mengenalku.
“ Makasih udah menolongku Meilan.” aku
berterima kasih pada Meilan.
“ Nama kakak siapa? Dari tadi kita
kan belum kenalan.”
“ Deni.” Mata Meilan membelalak
terkejut.
“ Deni. Deni yang pianis terkenal
itu?” sahutnya setengah berteriak. Aku segera bangun dan membekap mulutnya
menyuruhnya untuk diam. Dari mana anak ini tahu kalau aku adalah seorang
pianis?
“ Kamu tau dari mana?” desisku.
“ Tentu aja aku tau, pianis mana
yang nggak tau Deni sang Jenius.”
“ Kamu..pianis?” tanyaku setengah
tidak percaya. Meilan terkekeh mendengar pertanyaanku.
“ Meskipun begini aku ini seorang
pianis juga loh kak. Walau nggak seahli kak Deni sih.” jawabnya. Aku menatapnya
sedikit terkejut. Permainan pianonya memang cukup bagus, tapi masih banyak
kesalahan dalam permainannya.
“ Ngomong-ngomong Kak Deni kenapa
nggak pernah muncul lagi di kompetisi atau di konser-konser?” tanyanya
lagi. Mendengar pertanyaan itu aku hanya
bisa terdiam. Aku melemparkan pandangan ke segala arah. Aku tidak ingin
menjawab pertanyaan itu, karena itu hanya membuka luka dan kenangan yang selalu
ingin ku lupakan.
“ Aku sudah berhenti menjadi pianis.”
Akhirnya aku membuka suara dan hanya menjawab pendek. Meilan menatapku penuh
tanda tanya yang kubalas dengan tatapan datar tanpa emosi. Ia tampak salah
tingkah. Aku dan Meilan terdiam tenggelam dalam pikiran masing-masing. Di luar
langit telah berubah menjadi hitam tanda malam mulai datang. Suara jangkrik dan
binatang lainnya menjadi peramai diantara aku dan Meilan yang masih dalam
keheningan.
“ Ehm udah malam kak, aku harus
pulang. Sampai jumpa Kak Deni.” pamit Meilan. Aku mengangguk tanpa menjawab. Sebagian
dari diriku masih tenggelam dalam pikiranku.
****
Aku dan Denia adalah teman dari
kecil. Rumah kami bersebelahan. Sejak kecil ia selalu dijuluki sebagai pianis
jenius. Saat itu aku berumur 6 tahun. Itulah pertama kalinya aku mendengarnya
memainkan sebuah lagu. Lagu itu bukanlah berasal dari musik klasik. Lagu itu
hanyalah kumpulan nada sederhana. Tapi ia membawakannya begitu indah.
Melihatnya menari di atas tuts-tuts piano membuat sesuatu di dalam diriku ikut
bersemangat dan terpesona. Saat itu juga aku berbalik ke rumah dan meminta
sesuatu yang membuat orang tuaku sangat terkejut. Aku ingin menjadi pianis
seperti Denia. Melihatnya bermain piano membuatku ingin memainkannya. Aku ingin
bisa bermain bersamanya.
Sejak itulah aku mulai bermain
piano. Sesekali aku mengunjungi rumah Denia untuk bermain bersamanya. Ia selalu
tertawa melihatku bermain. Katanya aku sangat payah dalam bermain piano. Setiap
kali aku berkunjung ke rumahnya, Denia selalu mengajariku bermain piano.
Saat-saat itu merupakan hal terindah dalam hidupku. Aku tak perlu memikirkan
banyak hal. Cukup mencurahkan perasaanku pada piano dan memainkan lagu sepenuh
hati.
Tetapi seiring berjalannya waktu,
banyak hal mulai berubah. Jika sewaktu kecil aku dan Denia menghabiskan waktu
untuk bermain piano demi kesenangan semata, saat aku beranjak remaja semuanya
berubah. Kompetisi dan kompetisi selalu dipaksakan untukku. Beban untuk menang
seolah ada di pundakku dan pundak Denia. Ia yang memang di kenal jenius bahkan
mendapat tekanan yang lebih besar dariku. Tapi senyuman tak pernah menghilang
dari bibirnya. Setiap kali aku mengeluh karena latihan yang semakin keras dan
memakan waktu, ia hanya berkata lembut “
Bukankah kamu menyukai musik dan bermain piano? Anggap saja kita sedang bermain
tak perlu kamu risaukan kompetisi itu.” Kata-kata itu selalu berhasil
membangkitkan semangatku dan membuatku memenangkan berbagai kompetisi.
Puncaknya aku dan Denia menggelar konser piano. Hanya aku dan ia bermain piano
bersama di panggung. Saat bermain dengannya merupakan waktu terhebat bagiku.
Aku masih ingat senyuman tak pernah lepas dari bibir mungilnya.
Denia mulai berubah saat ia masuk
SMA. Wajahnya yang dulu selalu berseri-seri, berubah murung. Meskipun sinar di
bola matanya masih selalu terlihat, aku sering memergokinya melamun. Entah apa
yang dipikirkannya. Namun begitu ia masih bermain piano dengan riang. Atau
mungkin karena bermain piano itulah ia terlihat riang. Saat aku duduk di kelas
X, aku dan Denia kembali bermain piano bersama. Itulah saat terakhirku bermain
bersama dengannya. Satu bulan kemudian bahkan aku tidak bisa lagi mendengar
suara piano indahnya. Denia mengakhiri hidupnya meninggalkanku dan dunia yang
ia cintai. Kematiannya memberikan shock yang sangat berat bagiku. Apalagi ia meninggal
tepat di depan mataku. Setiap hari semenjak hari kelabu itu penyesalan dan rasa
bersalah selalu memenuhi rongga dadaku. Rasa bersalah karena tak mampu
menghentikannya, penyesalan karena tak bisa berbuat apa-apa untuknya. Aku
bahkan tidak tahu alasannya mengakhiri hidupnya. Sejak itu pula setiap kali
mendengar suara piano bayangan dirinya selalu muncul di mataku, membuatku
teringat akan rasa bersalahku. Setiap mendengar seseorang bermain piano
jantungku berdetak begitu cepat, keringat dingin keluar dari kulitku seolah-olah
suara itu mengingatkanku pada hari terakhir Denia.
Aku tersadar dari lamunanku saat
penjaga sekolah menyembulkan kepalanya dari balik tirai UKS dan menyuruhku
pulang. Malam belum terlalu larut tapi suasana sudah begitu sepi. Aku
mendongakkan kepalaku melihat bintang-bintang bertaburan di langit. Di kota
kecil seperti ini yang jauh dari keramaian dan polusi, cahata bintang-bintang
terlihat begitu jelas. Memandang berbagai formasi dan rasi bintang yang begitu
banyak membuatku sedikit terhibur. Sesampainya di kamarku aku langsung
merebahkan diri di tempat tidur. Hari ini benar-benar melelahkan. Aku hampir
memejamkan mataku saat pintu kamarku di ketuk seseorang. Aku mengernyit. Siapa
yang malam-malam begini mengetuk pintu? Aku bertanya-tanya dalam hati. Dengan
malas kubuka kenop pintu. Wajahku tak mampu menyembunyikan ekspresi terkejut
saat aku melihat seseorang di hadapanku. Meilan tersenyum melambaikan
tangannya. Di tangan yang satunya ia memegang semangkuk bubur.
“ Hai Kak deni!” sapanya
“ Kenapa kamu di sini?” tanyaku
benar-benar terkejut. Meilan tertawa berderai.
“ Ah kakak nggak tau ya, aku adalah
anak dari pemilik kost-kostan ini. Aku baru aja pulang dari pertukaran pelajar.
Oya ini aku bawakan bubur dari Bunda, dimakan ya Kak.” jelasnya. Aku hanya
begong menerima semangkuk bubur darinya. Meilan kemudian pamit, tapi aku masih
saja berdiri di depan pintu menatap punggungnya yang mulai menjauh. Aku
menggelengkan kepala. Dunia memang sempit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar