Jumat, 13 November 2015

Sad Melody (Part 2)



            Aku berlari kesetanan. Sebuah pesan yang masuk ke ponselku merupakan alasan mengapa kini aku berlari seperti tak ada hari esok. Pesan itu singkat saja, tapi mampu membuatku begitu panik, begitu kaget. Aku melirik jam tangan yang melingkar indah di tanganku. Baru 10 menit berlalu sejak pesan itu kuterima. Napasku tersengal-sengal, menaiki tangga untuk mencapai atap ternyata mampu membuat energiku terkuras. Aku membuka pintu atap. Seorang gadis dengan mata sendu berdiri seolah menanti kedatanganku.
            Gadis itu tersenyum tipis. Rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin. Di tangannya ia memegang sebuah pianika. Sesaat setelah melihatku, ia mulai memainkan pianika itu. Melodi-melodi yang keluar dari pianika itu adalah bagian dari lagu yang aku dan ia mainkan tempo hari. Aku terpana sekaligus tidak mengerti. Yang membuatku tidak mengerti mengapa ia jauh-jauh mengundangku kemari hanya untuk menunjukan permainannya. Tapi mendadak aku membeku, ketika ia memainkan melodi dari sebuah lagu. Requiem. Gadis itu memainkan requiem dari pianikanya sambil berjalan mundur. Aku mulai merasa ada yang tidak beres dengannya segera menyusul mendekatinya.
            Gadis itu kini berdiri tepat di pinggir atap. Ia masih memainkan melodi-melodi dengan pianikanya. Saat berhenti memainkannya, gadis itu menatapku dengan pandangan yang tampak begitu sedih. Bola matanya yang biasanya terlihat bercahaya kini meredup hanya meninggalkan kesedihan. Aku menelan ludah tak mampu berkata-kata. Gadis itu kembali menyunggingkan senyuman. Tapi senyuman itu bukanlah senyuman bahagia sebagaimana mestinya. Senyuman itu menyiratkan kesedihan. Gadis itu berjalan semakin di tepi atap. Aku ingin menghentikannya, tapi bibirku kelu, tubuhku seolah membeku tak mampu digerakkan. Sebuah kata darinya membuatku terbelalak.
            “ Selamat tinggal Den,” Gadis itu langsung menjatuhkan diri ke bawah setelah ia mengucapkan kata perpisahannya. Aku berteriak kencang menahannya. Tapi terlambat tubuh mungil itu sudah terjatuh. Aku terlambat.
            Aku membuka mataku. Sepanjang mataku melihat hanya warna putih yang tertangkap oleh mataku. Mataku menyipit silau oleh banyaknya cahaya lampu yang masuk ke mataku. Otakku mulai merangkai kejadian yang aku alami.Hal terakhir yang kuingat hanyalah permainan piano seorang anak SMP di ruang musik. Setelah itu aku sepertinya kehilangan kesadaran.
            “ Syukurlah kakak udah bangun!” seru gadis SMP itu. Aku mencoba mengingat namanya. Meilan. Ya nama gadis itu Mei.
            “ Makasih, apa kamu yang membawaku ke sini?” aku bertany a sangsi. Rasanya hampir mustahil anak berumur 14 tahunan dengan tubuh kurus begitu bisa mengangkatku. Mei menggeleng cepat.
           “ Yang benar saja, mana bisa aku ngangkat kakak sampai ke sini. Tadi aku minta tolong sama pak penjaga sekolah.” jawabnya. Aku mengangguk. Memalukan sekali pingsan di depan anak SMP. Bisa-bisa dia menganggapku lemah.
            “ Kakak sakit apa kok bisa sampai pingsan?” tanyanya lagi.
            “ Aku nggak sakit apa-apa kok, mungkin hanya kelelahan.” aku menjawab. Bohong. Tidak mungkin aku mengatakan padanya aku pingsan karena mendengar suara pianonya. Semenjak Denia meninggal, aku selalu merasa berdebar-debar dan ketakutan ketika mendengar seseorang memainkan piano. Rasa bersalah dan trauma membuatku tak mampu lagi menekan tuts-tuts piano dan mendengarnya. Setelah Denia meninggal aku bahkan meninggalkan piano dan pindah ke tempat dimana tidak ada satu orangpun yang mengenalku.
            “ Makasih udah menolongku Meilan.” aku berterima kasih pada Meilan.
            “ Nama kakak siapa? Dari tadi kita kan belum kenalan.”
            “ Deni.” Mata Meilan membelalak terkejut.
            “ Deni. Deni yang pianis terkenal itu?” sahutnya setengah berteriak. Aku segera bangun dan membekap mulutnya menyuruhnya untuk diam. Dari mana anak ini tahu kalau aku adalah seorang pianis?
            “ Kamu tau dari mana?” desisku.
            “ Tentu aja aku tau, pianis mana yang nggak tau Deni sang Jenius.”
            “ Kamu..pianis?” tanyaku setengah tidak percaya. Meilan terkekeh mendengar pertanyaanku.
            “ Meskipun begini aku ini seorang pianis juga loh kak. Walau nggak seahli kak Deni sih.” jawabnya. Aku menatapnya sedikit terkejut. Permainan pianonya memang cukup bagus, tapi masih banyak kesalahan dalam permainannya.
            “ Ngomong-ngomong Kak Deni kenapa nggak pernah muncul lagi di kompetisi atau di konser-konser?” tanyanya lagi.  Mendengar pertanyaan itu aku hanya bisa terdiam. Aku melemparkan pandangan ke segala arah. Aku tidak ingin menjawab pertanyaan itu, karena itu hanya membuka luka dan kenangan yang selalu ingin ku lupakan.
            “ Aku sudah berhenti menjadi pianis.” Akhirnya aku membuka suara dan hanya menjawab pendek. Meilan menatapku penuh tanda tanya yang kubalas dengan tatapan datar tanpa emosi. Ia tampak salah tingkah. Aku dan Meilan terdiam tenggelam dalam pikiran masing-masing. Di luar langit telah berubah menjadi hitam tanda malam mulai datang. Suara jangkrik dan binatang lainnya menjadi peramai diantara aku dan Meilan yang masih dalam keheningan.
            “ Ehm udah malam kak, aku harus pulang. Sampai jumpa Kak Deni.” pamit Meilan. Aku mengangguk tanpa menjawab. Sebagian dari diriku masih tenggelam dalam pikiranku.
****
           Aku dan Denia adalah teman dari kecil. Rumah kami bersebelahan. Sejak kecil ia selalu dijuluki sebagai pianis jenius. Saat itu aku berumur 6 tahun. Itulah pertama kalinya aku mendengarnya memainkan sebuah lagu. Lagu itu bukanlah berasal dari musik klasik. Lagu itu hanyalah kumpulan nada sederhana. Tapi ia membawakannya begitu indah. Melihatnya menari di atas tuts-tuts piano membuat sesuatu di dalam diriku ikut bersemangat dan terpesona. Saat itu juga aku berbalik ke rumah dan meminta sesuatu yang membuat orang tuaku sangat terkejut. Aku ingin menjadi pianis seperti Denia. Melihatnya bermain piano membuatku ingin memainkannya. Aku ingin bisa bermain bersamanya.
            Sejak itulah aku mulai bermain piano. Sesekali aku mengunjungi rumah Denia untuk bermain bersamanya. Ia selalu tertawa melihatku bermain. Katanya aku sangat payah dalam bermain piano. Setiap kali aku berkunjung ke rumahnya, Denia selalu mengajariku bermain piano. Saat-saat itu merupakan hal terindah dalam hidupku. Aku tak perlu memikirkan banyak hal. Cukup mencurahkan perasaanku pada piano dan memainkan lagu sepenuh hati.
            Tetapi seiring berjalannya waktu, banyak hal mulai berubah. Jika sewaktu kecil aku dan Denia menghabiskan waktu untuk bermain piano demi kesenangan semata, saat aku beranjak remaja semuanya berubah. Kompetisi dan kompetisi selalu dipaksakan untukku. Beban untuk menang seolah ada di pundakku dan pundak Denia. Ia yang memang di kenal jenius bahkan mendapat tekanan yang lebih besar dariku. Tapi senyuman tak pernah menghilang dari bibirnya. Setiap kali aku mengeluh karena latihan yang semakin keras dan memakan waktu, ia hanya berkata lembut “ Bukankah kamu menyukai musik dan bermain piano? Anggap saja kita sedang bermain tak perlu kamu risaukan kompetisi itu.” Kata-kata itu selalu berhasil membangkitkan semangatku dan membuatku memenangkan berbagai kompetisi. Puncaknya aku dan Denia menggelar konser piano. Hanya aku dan ia bermain piano bersama di panggung. Saat bermain dengannya merupakan waktu terhebat bagiku. Aku masih ingat senyuman tak pernah lepas dari bibir mungilnya.
            Denia mulai berubah saat ia masuk SMA. Wajahnya yang dulu selalu berseri-seri, berubah murung. Meskipun sinar di bola matanya masih selalu terlihat, aku sering memergokinya melamun. Entah apa yang dipikirkannya. Namun begitu ia masih bermain piano dengan riang. Atau mungkin karena bermain piano itulah ia terlihat riang. Saat aku duduk di kelas X, aku dan Denia kembali bermain piano bersama. Itulah saat terakhirku bermain bersama dengannya. Satu bulan kemudian bahkan aku tidak bisa lagi mendengar suara piano indahnya. Denia mengakhiri hidupnya meninggalkanku dan dunia yang ia cintai. Kematiannya memberikan shock  yang sangat berat bagiku. Apalagi ia meninggal tepat di depan mataku. Setiap hari semenjak hari kelabu itu penyesalan dan rasa bersalah selalu memenuhi rongga dadaku. Rasa bersalah karena tak mampu menghentikannya, penyesalan karena tak bisa berbuat apa-apa untuknya. Aku bahkan tidak tahu alasannya mengakhiri hidupnya. Sejak itu pula setiap kali mendengar suara piano bayangan dirinya selalu muncul di mataku, membuatku teringat akan rasa bersalahku. Setiap mendengar seseorang bermain piano jantungku berdetak begitu cepat, keringat dingin keluar dari kulitku seolah-olah suara itu mengingatkanku pada hari terakhir Denia.
            Aku tersadar dari lamunanku saat penjaga sekolah menyembulkan kepalanya dari balik tirai UKS dan menyuruhku pulang. Malam belum terlalu larut tapi suasana sudah begitu sepi. Aku mendongakkan kepalaku melihat bintang-bintang bertaburan di langit. Di kota kecil seperti ini yang jauh dari keramaian dan polusi, cahata bintang-bintang terlihat begitu jelas. Memandang berbagai formasi dan rasi bintang yang begitu banyak membuatku sedikit terhibur. Sesampainya di kamarku aku langsung merebahkan diri di tempat tidur. Hari ini benar-benar melelahkan. Aku hampir memejamkan mataku saat pintu kamarku di ketuk seseorang. Aku mengernyit. Siapa yang malam-malam begini mengetuk pintu? Aku bertanya-tanya dalam hati. Dengan malas kubuka kenop pintu. Wajahku tak mampu menyembunyikan ekspresi terkejut saat aku melihat seseorang di hadapanku. Meilan tersenyum melambaikan tangannya. Di tangan yang satunya ia memegang semangkuk bubur.
            “ Hai Kak deni!” sapanya
            “ Kenapa kamu di sini?” tanyaku benar-benar terkejut. Meilan tertawa berderai.
            “ Ah kakak nggak tau ya, aku adalah anak dari pemilik kost-kostan ini. Aku baru aja pulang dari pertukaran pelajar. Oya ini aku bawakan bubur dari Bunda, dimakan ya Kak.” jelasnya. Aku hanya begong menerima semangkuk bubur darinya. Meilan kemudian pamit, tapi aku masih saja berdiri di depan pintu menatap punggungnya yang mulai menjauh. Aku menggelengkan kepala. Dunia memang sempit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar