Ketika
aku membuka mata, wajah Meilan yang sarat akan kekhawatiran langsung menyembul
di pandanganku. Ia terlihat begitu lega saat melihatku membuka mata. Kepalaku
masih berdenyut nyeri. Beberapa potongan memori sebelum aku kehilangan kesadaran
kembali berputar. Aku yang sedang mengajari Meilan bermain piano tiba-tiba
teringat kenangan tentang Denia. Jantungku yang berdetak kencang, kata-kata
terakhir Denia yang terngiang di telingaku.
“
Selamat tinggal Den.” Aku mengaduh. Kepalaku kembali nyeri. Jantungku mulai
berdebar kembali. Tidak. Aku tidak boleh mengingatnya. Aku mengambil napas
dalam-dalam berusaha menenangkan diri.
“ Kak Deni maaf. Ini semua karena
aku. Aku nggak tau apa-apa dan malah memaksa kakak mengajariku main piano.”
sesal Meilan. Aku memandangnya tak mengerti.
“ Kenapa kamu minta maaf Mei?”
tanyaku.
“ Aku nggak alasan kakak menolak
mengajariku main piano tapi aku terus memaksa kakak. Sekarang aku udah tau
alasan kenapa kakak berhenti jadi pianis. Maaf Kak, pasti aku telah membuka
luka hati kakak.” lanjut Meilan. Aku tergagap.
“ Da....dari mana kamu tau Mei?” Meilan
mendongak tersenyum kecil sambil menunjukan smartphonenya.
“ Sedikit investigasi. Aku membaca
berita di internet tentang kejadian setahun yang lalu dan sedikit analisisku.”
jawabnya. Aku menggelengkan kepala. Aku benar-benar terkejut dengan kemampuan
Meilan.
“ Kak Deni, mungkin nggak tepat
kalau aku yang mengatakan ini padamu karena aku nggak pernah berada di
posisimu. Tapi satu hal yang pasti, kematian Kak Denia bukanlah salahmu Kak.”
bisik Meilan pelan. Aku menatapnya terperengah. Sorot bola matanya
mengisyaratkan keprihatinan dan keyakinan. Mendengar perkataannya membuat
separuh hatiku lega. Seolah beban yang selama ini kutanggung hilang separuhnya.
Tapi separuh hatiku yang lain menentang masih bersikeras semua yang terjadi
salahku.
“ Semua salahku. Kalau saja aku bisa
menghentikannya Denia pasti nggak akan meloncat. Tapi aku nggak bisa melakukan
apapun selain melihatnya.” ceracauku. Meilan memegang pundakku lembut. Ia
mendekatkan wajahnya ke wajahku.
“ Itu bukan salahmu Kak. Keputusan
Kak Denia adalah meloncat. Mau kakak mencegahnya atau nggak mencegahnya mungkin
pilihannya nggak berubah. Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Bukankah jika
kakak terus menyalahkan diri kakak, Kak Denia yang udah berada di alam sana
mungkin semakin tersiksa. “ jelasnya. Aku terdiam mendengar ucapan Meilan.
Denia kenapa kamu memillih meloncat di depanku.
Kenapa saat terakhir kali pun kamu masih saja memainkan musik yang begitu kita
berdua cintai. Kenapa kamu membuatku tidak lagi mampu memainkan piano.
Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di kepalaku. Pertanyaan-pertanyaan yang
sejatinya selalu ingin kutanyakan setelah ia melompat dari atap gedung itu.
Pertanyaan yang mendesak isi kepalaku namun tak bisa kuucapkan dengan ucapan
verbal.
“ Kak Deni.” panggil Meilan. “ Kalau Kakak memang
mencintai musik, piano dan Kak Denia bukankah seharusnya Kakak terus bermain
piano? Tunjukan pada Kak Denia, kalau Kak Deni baik-baik saja. Kirimkan melodi
terindah milik Kak Deni pada Kak Denia.” lanjutnya. Aku kembali terdiam
memikirkan segala ucapan Meilan. Aneh sekali. Meski Meilan lebih muda dariku
entah mengapa kata-katanya terdengar begitu bijak. Semua ucapannya seolah ikut
meringankan beban yang selama ini aku bawa. Beban yang membuatku kehilangan
nada-nada dan melodiku. Beban yang membuatku menjauh dari hal yang kucintai.
“ Mungkin apa yang kamu katakan benar Mei. Aku nggak
seharusnya melarikan diri apalagi menjauhi piano dan musik yang kucintai. Denia
mungkin telah tiada, tapi aku nggak boleh berhenti. Aku juga harus melangkah
maju. Benarkan?” Meilan mengangguk setuju. Aku tersenyum. Mungkin ini adalah
senyum tulus pertama yang pernah terukit di bibirku sejak kematian Denia. Aku
sudah lelah melarikan diri. Aku sudah lelah membohongi diriku dengan
memalingkan wajahku dari suara nada piano. Mungkin rasa bersalah atas kematian
Denia akan selalu membayangiku, tapi aku harus mampu mengubahnya menjadi energi
lain agar Denia tak menderita di alam sana.
“ Jadi Kak Deni akan main piano lagi?” tanya Meilan
lagi.
“ Mungkin, tapi sepertinya akupun butuh latihan. Mau
kan kamu berlatih bersamaku?” tanyaku balik. Meilan tersenyum lebar.
“ Tentu.”
Petang itu melodi-melodi yang pernah
menghilang dari duniaku kembali ke asalnya, begitu juga warna hidupku yang
semula abu-abu kini mulai berubah warna. Bersamanya di ruang musik tiap sore.
Melodi-melodi yang keluar dari tuts piano yang ditekan terdengar indah. Tak ada
lagi kenangan buruk menyakitkan di memoriku setiap memainkan piano.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar