Senin, 16 November 2015

Sad Melody ( Last Part)



Ketika aku membuka mata, wajah Meilan yang sarat akan kekhawatiran langsung menyembul di pandanganku. Ia terlihat begitu lega saat melihatku membuka mata. Kepalaku masih berdenyut nyeri. Beberapa potongan memori sebelum aku kehilangan kesadaran kembali berputar. Aku yang sedang mengajari Meilan bermain piano tiba-tiba teringat kenangan tentang Denia. Jantungku yang berdetak kencang, kata-kata terakhir Denia yang terngiang di telingaku.
            “ Selamat tinggal Den.” Aku mengaduh. Kepalaku kembali nyeri. Jantungku mulai berdebar kembali. Tidak. Aku tidak boleh mengingatnya. Aku mengambil napas dalam-dalam berusaha menenangkan diri.
            “ Kak Deni maaf. Ini semua karena aku. Aku nggak tau apa-apa dan malah memaksa kakak mengajariku main piano.” sesal Meilan. Aku memandangnya tak mengerti.
            “ Kenapa kamu minta maaf Mei?” tanyaku.
            “ Aku nggak alasan kakak menolak mengajariku main piano tapi aku terus memaksa kakak. Sekarang aku udah tau alasan kenapa kakak berhenti jadi pianis. Maaf Kak, pasti aku telah membuka luka hati kakak.” lanjut Meilan. Aku tergagap.
            “ Da....dari mana kamu tau Mei?” Meilan mendongak tersenyum kecil sambil menunjukan smartphonenya.
            “ Sedikit investigasi. Aku membaca berita di internet tentang kejadian setahun yang lalu dan sedikit analisisku.” jawabnya. Aku menggelengkan kepala. Aku benar-benar terkejut dengan kemampuan Meilan.
            “ Kak Deni, mungkin nggak tepat kalau aku yang mengatakan ini padamu karena aku nggak pernah berada di posisimu. Tapi satu hal yang pasti, kematian Kak Denia bukanlah salahmu Kak.” bisik Meilan pelan. Aku menatapnya terperengah. Sorot bola matanya mengisyaratkan keprihatinan dan keyakinan. Mendengar perkataannya membuat separuh hatiku lega. Seolah beban yang selama ini kutanggung hilang separuhnya. Tapi separuh hatiku yang lain menentang masih bersikeras semua yang terjadi salahku.
            “ Semua salahku. Kalau saja aku bisa menghentikannya Denia pasti nggak akan meloncat. Tapi aku nggak bisa melakukan apapun selain melihatnya.” ceracauku. Meilan memegang pundakku lembut. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku.
            “ Itu bukan salahmu Kak. Keputusan Kak Denia adalah meloncat. Mau kakak mencegahnya atau nggak mencegahnya mungkin pilihannya nggak berubah. Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Bukankah jika kakak terus menyalahkan diri kakak, Kak Denia yang udah berada di alam sana mungkin semakin tersiksa. “ jelasnya. Aku terdiam mendengar ucapan Meilan.
Denia kenapa kamu memillih meloncat di depanku. Kenapa saat terakhir kali pun kamu masih saja memainkan musik yang begitu kita berdua cintai. Kenapa kamu membuatku tidak lagi mampu memainkan piano. Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di kepalaku. Pertanyaan-pertanyaan yang sejatinya selalu ingin kutanyakan setelah ia melompat dari atap gedung itu. Pertanyaan yang mendesak isi kepalaku namun tak bisa kuucapkan dengan ucapan verbal.
“ Kak Deni.” panggil Meilan. “ Kalau Kakak memang mencintai musik, piano dan Kak Denia bukankah seharusnya Kakak terus bermain piano? Tunjukan pada Kak Denia, kalau Kak Deni baik-baik saja. Kirimkan melodi terindah milik Kak Deni pada Kak Denia.” lanjutnya. Aku kembali terdiam memikirkan segala ucapan Meilan. Aneh sekali. Meski Meilan lebih muda dariku entah mengapa kata-katanya terdengar begitu bijak. Semua ucapannya seolah ikut meringankan beban yang selama ini aku bawa. Beban yang membuatku kehilangan nada-nada dan melodiku. Beban yang membuatku menjauh dari hal yang kucintai.
“ Mungkin apa yang kamu katakan benar Mei. Aku nggak seharusnya melarikan diri apalagi menjauhi piano dan musik yang kucintai. Denia mungkin telah tiada, tapi aku nggak boleh berhenti. Aku juga harus melangkah maju. Benarkan?” Meilan mengangguk setuju. Aku tersenyum. Mungkin ini adalah senyum tulus pertama yang pernah terukit di bibirku sejak kematian Denia. Aku sudah lelah melarikan diri. Aku sudah lelah membohongi diriku dengan memalingkan wajahku dari suara nada piano. Mungkin rasa bersalah atas kematian Denia akan selalu membayangiku, tapi aku harus mampu mengubahnya menjadi energi lain agar Denia tak menderita di alam sana.
“ Jadi Kak Deni akan main piano lagi?” tanya Meilan lagi.
“ Mungkin, tapi sepertinya akupun butuh latihan. Mau kan kamu berlatih bersamaku?” tanyaku balik. Meilan tersenyum lebar.
“ Tentu.”
            Petang itu melodi-melodi yang pernah menghilang dari duniaku kembali ke asalnya, begitu juga warna hidupku yang semula abu-abu kini mulai berubah warna. Bersamanya di ruang musik tiap sore. Melodi-melodi yang keluar dari tuts piano yang ditekan terdengar indah. Tak ada lagi kenangan buruk menyakitkan di memoriku setiap memainkan piano. 

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar