Selama
hampir 17 tahun aku menghirup udara di dunia ini, aku hampir tidak pernah
merasakan apa arti kebahagiaan itu. Hidupku bukan hanya sekedar monokrome yang
hitam putih. Jika aku boleh mendeskripsikan hidupku ini, hanya tragedi yang
dapat aku ucapkan. Sejak kecil aku menderita penyakit jantung bawaan yang
membuatku tidak dapat beraktivitas seperti anak-anak normal. Aku hanya bisa
memandang kesenangan mereka dari balik jendela rumahku. Orang tuaku selalu
sibuk dan tidak pernah ada di rumah. Bahkan ketika mereka berada di rumah, hal
yang mereka lakukan hanya bertengkar, membuat aku yang kala itu masih bocah
ingusan harus menutup mata dan telingaku bersembunyi di kamar ketakutan. Tak
pernah ada hal baik dalam hidupku. Tak ada sahabat tak ada kasih sayang orang
tua. Aku tumbuh menjadi gadis penyakitan tanpa emosi. Bahkan beberapa bulan
terakhir aku harus terbujur di rumah sakit karena keadaanku yang semakin
memburuk. Meskipun begitu tak pernah sekalipun orang tuaku berkunjung menjenguk
keadaan putri mereka. Mungkin mereka bahagia kini aku berada di rumah sakit,
karena setidaknya mereka tak perlu lagi merawatku.
Warna
hidupku hanyalah hitam, tanpa ada putih sama sekali. Aku tidak mengenal kata
kebahagiaan, karena yang aku rasakan hanyalah kesepian dan kehampaan. Tapi
semua itu berubah ketika aku bertemu dengannya. Hari itu entah sudah berapa
lama aku tergolek di rumah sakit, seseorang tiba-tiba saja muncul dari balik
jendela. Ia gadis seumuranku. Tersenyum begitu lebar memperlihatkan deretan
giginya yang tumbuh tidak beraturan. Masih aku ingat kata-katanya saat itu yang
kurasa menjadi kata kunci mengubah duniaku. Mengubah hitamku selama ini menjadi
sebuah pelangi.
“
Hari ini sangat cerah mengapa kau berdiam di kamar? Bukankah membosankan?
Bermainlah denganku.” ajaknya saat itu. Aku yang pada saat itu masih tidak
mengenal kehangatannya hanya menatap gadis datar. Tapi aku tahu di suatu tempat
di dalam hatiku aku merasa sangat tersentuh, seolah kehangatan menjalar di
seluruh tubuhku.
“
Hei siapa namamu. Aku Berlian tapi kamu bisa memanggilku Lian.” kata Lian. Aku
menatapnya datar.
“
Kinan.” aku menjawab pendek. Hening sebentar diantara kami. Aku melirik sekilas
ke arah Lian, mengernyit heran. Gadis itu terlihat begitu semangat dan sehat.
Aku tidak habis pikir mengapa ia bisa berakhir di sini sama sepertiku.Aku yang
tengah bergumul sendiri dengan pikiranku tiba-tiba dikejutkan dengan
perkataannya. Hingga kini kata-kata itu selalu terngiang di telingaku. Sebuah
kata-kata yang membuat seseorang tanpa emosi sepertiku meneteskan air mata.
“
Jadilah temanku Kinan. Aku bosan di rumah sakit ini nggak ada seseorang pun
yang seumuran denganku.” Begitu sederhana kalimat yang ia ucapkan namun
dampaknya begitu besar. Aku terengah mendengar ucapannya. Mataku membesar
terkejut, namun tak butuh waktu lama untuk kemudian buliran air bening menetes
dari kedua sudut mataku. Lian yang melihat hal itu ikut terkaget-kaget.
“
Kinan kamu kenapa? Aku nyakitin kamu? Aduh maaf ya. Kamu nggak mau ya temenan
sama aku.” Aku menggeleng liruh menghapus sisa air mataku yang masih menetes.
“
Nggak apa-apa, aku juga nggak tau kenapa air mataku menetes seperti ini.” Aku
mengambil napas dalam-dalam. Saat itu entah mengapa aku merasa, jika aku
melepaskan kesempatan menjadi temannya, maka seumur hidupku aku hanya
sendirian. “ Jadilah temanku Lian.” aku berucap lembut. Lian kembali
mengembangkan senyumannya mengangguk dengan mantap. Di saat itu aku yakin,
hitam yang membungkus kehidupanku mulai diterobos oleh cahaya, tak besar memang
namun begitu terang.
***
Sejak
aku bertemu dengan Berlian, perlahan hitam dalam kehidupanku mulai pudar. Ia
begitu banyak memberikanku pelajaran mengenai kebahagiaan, sahabat, dan
indahnya dunia luar. Kami sering bermain bersama di halaman rumah sakit yang
cukup luas. Tak banyak yang aku dan Lian lakukan hanya mengobrol bersama.
Setiap aku bertemu dengannya senyuman selalu terpapar di wajahnya.
“
Kenapa kamu selalu tersenyum?” tanyaku suatu ketika saat aku dan Lian menikmati
waktu bersama di tempat favorit kami, atap gedung rumah sakit.
“
Kenapa kamu bertanya Kinan? Aku selalu tersenyum karena aku merasa bahagia
dengan hidupku selama ini. Itu saja.” jawab Lian. Aku mengernyit heran. Segera
kupindahkan posisiku dan duduk di dekatnya.
“
Meskipun setiap hari kamu hanya berdiam di rumah sakit. Apakah kamu masih bisa
bahagia?” aku bertanya lagi.
“
Apakah sekarang hidupmu nggak bahagia Kinan?” Lian menoleh padaku menatapku
serius. Aku mengadahkan pandanganku ke langit yang mulai memerah. Matahari
mulai tenggelam di ufuk barat meninggalkan mega jingga. Bahagia. Kata-kata itu
menusuk-nusuk pikiranku. Apakah sekarang aku bahagia? Bahkan ketika aku tahu
hidupku tak mampu bertahan lama, apakah masih bisa kukatakan aku bahagia.
Memang setelah bertemu dengan Lian aku merasa kehidupanku menjadi lebih baik.
Aku mulai belajar bagaimana tersenyum. Tapi bahagia, benarkah aku merasakannya?
“
Entahlah Lian aku nggak tau. Hidupku selama ini tak pernah mengenal kata
bahagia. Bahkan kini setelah aku bertemu denganmu, justru rasa ketakutan yang
menyergapku, ketakutan akan kematian. Aku ingin menghabiskan waktu lebih lama
denganmu, tapi aku sadar dengan keadaanku ini aku nggak akan bisa hidup lebih
lama.” tanpa terasa aku memegang dadaku dimana jantungku berada. Sejak kecil
aku tahu keadaan jantungku sangat buruk. Tanpa obat-obatan mungkin sudah lama
aku menghilang dari dunia ini. Untuk menyembuhkan jantungku ini aku membutuhkan
transplatasi jantung. Tapi hal itu tak semudah membalikan tangan. Aku bahkan
sudah tidak berharap pada transplatasi itu. Dulu yang kuinginkan hanya cepat
menghilang dari muka bumi. Tapi setelah bertemu dengan Lian keinginan untuk
hidup semakin membuat yang justru membuatku ketakutan menghadapi maut.
“
Apakah kamu pernah merasa hidupmu adalah skenario terburuk dan termalang di
dunia ini?” Lian tiba-tiba bertanya padaku. Bola mata hitam beningnya
memandangku begitu serius. Di bola mataku terpancar kesedihan, pahit, rasa
putus asa, harapan, kebahagiaan dan semangat. Belum sempat aku menjawab Lian menyunggingkan
senyum samar dan berbisik lirih, namun cukup keras untuk dapat kudengar.
“
Aku pernah merasakannya.” Aku membulatkan mata tak percaya.
“
Maukah kamu mendengarnya Kinan? Sepotong masa lalu terkelamku.” Aku mengangguk
mendekatkan tubuhku.
“ Hidupku
dulu sangat bahagia sampai sebuah kejadian yang memporak-porandakan kehidupanku
terjadi. Hidupku yang semula bagai di surga berubah menjadi neraka. Aku
kehilangan semua yang berharga, orang tuaku, adikku, rumahku, semuanya. Hidupku
sangat berantakan, aku terjerumus ke dalam kelamnya pergaulan. Sampai 6 bulan
yang lalu dokter mendiagnosisku terkena kanker paru. Saat itu aku sudah sangat
pasrah, aku tidak peduli apapun. Aku di rawat di rumah sakit setelah masuk
panti rehabilitasi, tapi tak ada yang berubah aku masih saja merasakan hampa
sampai suatu hari aku bertemu kakek tua di tempat ini.” Lian menjeda sebentar
ceritanya. Ia menatap langit kemerahan. Pandangan matanya terlihat memandang
begitu jauh entah kemana. Aku hanya diam menunggu kelanjutan kisahnya.
“
Kakek itu sudah sangat tua. Ketika bertemu denganku ia bertanya mengapa aku
terlihat begitu mati padahal aku masih hidup. Aku hanya memberitahunya betapa
menderitanya hidupku. Kakek itu tersenyum kemudian ia menceritakan sepenggal
kisahnya sama seperti yang kulakukan padamu. Di akhir kisahnya ia mengatakan
seperti ini.” Lian berdehem. “ Kalau kau selalu merasa hidupmu paling malang paling
menderita, maka kau tidak akan bisa melihat sebenarnya betapa beruntungnya
dirimu. Karena jika kau tahu sedikit saja bahwa kesulitan yang kau hadapi dalam
hidupmu tak lebih besar dibanding orang lain, niscaya kau akan mensyukuri
kehidupanmu sekarang.” Lian tersenyum sebentar kemudian melanjutkan ceritanya. “
Entah kenapa kata-kata kakek itu begitu menusuk hatiku, apalagi saat itu aku
telah mendengar kisah hidupnya yang ternyata lebih mengerikan dari hidupku.
Perkataan kakek itu membuatku tersadar masih banyak kebahagiaan dalam hidupku.
Aku pun mulai memperbaiki diriku dan mencari sebuah pertanyaan yang diberikan
olehnya.” Aku memandang Lia tak mengerti.
“
Pertanyaan?” Lian mengangguk pelan. “ Ya, saat terakhir kali bertemu dengannya
ia memberiku pertanyaan. Pertanyaan dari kakek itu sangat sederhana, namun
sangat sulit dijawab, apa tujuan hidupmu, apa arti kehadiran dirimu di dunia
ini.”
“
Ah hari udah malam sekarang, ayo kita kembali.” Lian mengajakku kembali ketika
langit merah telah berubah menjadi malam gelap. Angin bertiup cukup kencang
membuatku harus merapatkan jaketku. Tiba-tiba saja aku merasakan sesak di dadaku,
detak jantungku begitu tidak beraturan membuat napasku ikut tidak beraturan
ternegah-engah. Aku memgang dada sebelah kiriku. Sakit sekali. Aku mulai
kelimpungan, kakiku terasa lemas tidak mampu menopang berat badanku. Mataku
berat. Yang kulihat terakhir kali hanyalah wajah penuh kecemasan dan kepanikan
milik Lian. Setelah itu duniaku hitam.
Saat
aku membuka mataku, aku telah berada di ruanganku. Berbagai peralatan penopang
kehidupan di pasang di seluruh tubuhku. Aku menghela napas berat. Mungkinkah
akhir hidupku semakin dekat. Teringat terakhir kali percakapanku dengan Lian.
Aku memandang langit-langit, kata-kata Lian terngiang di telingaku. “ Apa tujuan hidumu, apa arti kehadiran
dirimu di dunia ini?” Entah kenapa pertanyaan itu juga mengangguku. Apakah
aku sudah tahu untuk apa aku hidup dan apakah sebenarnya arti kehidupanku ini.
Akankah aku mengakhiri hidupku tanpa arti tanpa makna.
Bersambung......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar