Jumat, 06 November 2015

Dear Friends (Part 1)



            Selama hampir 17 tahun aku menghirup udara di dunia ini, aku hampir tidak pernah merasakan apa arti kebahagiaan itu. Hidupku bukan hanya sekedar monokrome yang hitam putih. Jika aku boleh mendeskripsikan hidupku ini, hanya tragedi yang dapat aku ucapkan. Sejak kecil aku menderita penyakit jantung bawaan yang membuatku tidak dapat beraktivitas seperti anak-anak normal. Aku hanya bisa memandang kesenangan mereka dari balik jendela rumahku. Orang tuaku selalu sibuk dan tidak pernah ada di rumah. Bahkan ketika mereka berada di rumah, hal yang mereka lakukan hanya bertengkar, membuat aku yang kala itu masih bocah ingusan harus menutup mata dan telingaku bersembunyi di kamar ketakutan. Tak pernah ada hal baik dalam hidupku. Tak ada sahabat tak ada kasih sayang orang tua. Aku tumbuh menjadi gadis penyakitan tanpa emosi. Bahkan beberapa bulan terakhir aku harus terbujur di rumah sakit karena keadaanku yang semakin memburuk. Meskipun begitu tak pernah sekalipun orang tuaku berkunjung menjenguk keadaan putri mereka. Mungkin mereka bahagia kini aku berada di rumah sakit, karena setidaknya mereka tak perlu lagi merawatku.

            Warna hidupku hanyalah hitam, tanpa ada putih sama sekali. Aku tidak mengenal kata kebahagiaan, karena yang aku rasakan hanyalah kesepian dan kehampaan. Tapi semua itu berubah ketika aku bertemu dengannya. Hari itu entah sudah berapa lama aku tergolek di rumah sakit, seseorang tiba-tiba saja muncul dari balik jendela. Ia gadis seumuranku. Tersenyum begitu lebar memperlihatkan deretan giginya yang tumbuh tidak beraturan. Masih aku ingat kata-katanya saat itu yang kurasa menjadi kata kunci mengubah duniaku. Mengubah hitamku selama ini menjadi sebuah pelangi.
            “ Hari ini sangat cerah mengapa kau berdiam di kamar? Bukankah membosankan? Bermainlah denganku.” ajaknya saat itu. Aku yang pada saat itu masih tidak mengenal kehangatannya hanya menatap gadis datar. Tapi aku tahu di suatu tempat di dalam hatiku aku merasa sangat tersentuh, seolah kehangatan menjalar di seluruh tubuhku.
            “ Hei siapa namamu. Aku Berlian tapi kamu bisa memanggilku Lian.” kata Lian. Aku menatapnya datar.
            “ Kinan.” aku menjawab pendek. Hening sebentar diantara kami. Aku melirik sekilas ke arah Lian, mengernyit heran. Gadis itu terlihat begitu semangat dan sehat. Aku tidak habis pikir mengapa ia bisa berakhir di sini sama sepertiku.Aku yang tengah bergumul sendiri dengan pikiranku tiba-tiba dikejutkan dengan perkataannya. Hingga kini kata-kata itu selalu terngiang di telingaku. Sebuah kata-kata yang membuat seseorang tanpa emosi sepertiku meneteskan air mata.
            “ Jadilah temanku Kinan. Aku bosan di rumah sakit ini nggak ada seseorang pun yang seumuran denganku.” Begitu sederhana kalimat yang ia ucapkan namun dampaknya begitu besar. Aku terengah mendengar ucapannya. Mataku membesar terkejut, namun tak butuh waktu lama untuk kemudian buliran air bening menetes dari kedua sudut mataku. Lian yang melihat hal itu ikut terkaget-kaget.
            “ Kinan kamu kenapa? Aku nyakitin kamu? Aduh maaf ya. Kamu nggak mau ya temenan sama aku.” Aku menggeleng liruh menghapus sisa air mataku yang masih menetes.
            “ Nggak apa-apa, aku juga nggak tau kenapa air mataku menetes seperti ini.” Aku mengambil napas dalam-dalam. Saat itu entah mengapa aku merasa, jika aku melepaskan kesempatan menjadi temannya, maka seumur hidupku aku hanya sendirian. “ Jadilah temanku Lian.” aku berucap lembut. Lian kembali mengembangkan senyumannya mengangguk dengan mantap. Di saat itu aku yakin, hitam yang membungkus kehidupanku mulai diterobos oleh cahaya, tak besar memang namun begitu terang.
***
            Sejak aku bertemu dengan Berlian, perlahan hitam dalam kehidupanku mulai pudar. Ia begitu banyak memberikanku pelajaran mengenai kebahagiaan, sahabat, dan indahnya dunia luar. Kami sering bermain bersama di halaman rumah sakit yang cukup luas. Tak banyak yang aku dan Lian lakukan hanya mengobrol bersama. Setiap aku bertemu dengannya senyuman selalu terpapar di wajahnya.
            “ Kenapa kamu selalu tersenyum?” tanyaku suatu ketika saat aku dan Lian menikmati waktu bersama di tempat favorit kami, atap gedung rumah sakit.
           “ Kenapa kamu bertanya Kinan? Aku selalu tersenyum karena aku merasa bahagia dengan hidupku selama ini. Itu saja.” jawab Lian. Aku mengernyit heran. Segera kupindahkan posisiku dan duduk di dekatnya.
            “ Meskipun setiap hari kamu hanya berdiam di rumah sakit. Apakah kamu masih bisa bahagia?” aku bertanya lagi.
            “ Apakah sekarang hidupmu nggak bahagia Kinan?” Lian menoleh padaku menatapku serius. Aku mengadahkan pandanganku ke langit yang mulai memerah. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat meninggalkan mega jingga. Bahagia. Kata-kata itu menusuk-nusuk pikiranku. Apakah sekarang aku bahagia? Bahkan ketika aku tahu hidupku tak mampu bertahan lama, apakah masih bisa kukatakan aku bahagia. Memang setelah bertemu dengan Lian aku merasa kehidupanku menjadi lebih baik. Aku mulai belajar bagaimana tersenyum. Tapi bahagia, benarkah aku merasakannya?
            “ Entahlah Lian aku nggak tau. Hidupku selama ini tak pernah mengenal kata bahagia. Bahkan kini setelah aku bertemu denganmu, justru rasa ketakutan yang menyergapku, ketakutan akan kematian. Aku ingin menghabiskan waktu lebih lama denganmu, tapi aku sadar dengan keadaanku ini aku nggak akan bisa hidup lebih lama.” tanpa terasa aku memegang dadaku dimana jantungku berada. Sejak kecil aku tahu keadaan jantungku sangat buruk. Tanpa obat-obatan mungkin sudah lama aku menghilang dari dunia ini. Untuk menyembuhkan jantungku ini aku membutuhkan transplatasi jantung. Tapi hal itu tak semudah membalikan tangan. Aku bahkan sudah tidak berharap pada transplatasi itu. Dulu yang kuinginkan hanya cepat menghilang dari muka bumi. Tapi setelah bertemu dengan Lian keinginan untuk hidup semakin membuat yang justru membuatku ketakutan menghadapi maut.
            “ Apakah kamu pernah merasa hidupmu adalah skenario terburuk dan termalang di dunia ini?” Lian tiba-tiba bertanya padaku. Bola mata hitam beningnya memandangku begitu serius. Di bola mataku terpancar kesedihan, pahit, rasa putus asa, harapan, kebahagiaan dan semangat. Belum sempat aku menjawab Lian menyunggingkan senyum samar dan berbisik lirih, namun cukup keras untuk dapat kudengar.
            “ Aku pernah merasakannya.” Aku membulatkan mata tak percaya.
            “ Maukah kamu mendengarnya Kinan? Sepotong masa lalu terkelamku.” Aku mengangguk mendekatkan tubuhku.
            “ Hidupku dulu sangat bahagia sampai sebuah kejadian yang memporak-porandakan kehidupanku terjadi. Hidupku yang semula bagai di surga berubah menjadi neraka. Aku kehilangan semua yang berharga, orang tuaku, adikku, rumahku, semuanya. Hidupku sangat berantakan, aku terjerumus ke dalam kelamnya pergaulan. Sampai 6 bulan yang lalu dokter mendiagnosisku terkena kanker paru. Saat itu aku sudah sangat pasrah, aku tidak peduli apapun. Aku di rawat di rumah sakit setelah masuk panti rehabilitasi, tapi tak ada yang berubah aku masih saja merasakan hampa sampai suatu hari aku bertemu kakek tua di tempat ini.” Lian menjeda sebentar ceritanya. Ia menatap langit kemerahan. Pandangan matanya terlihat memandang begitu jauh entah kemana. Aku hanya diam menunggu kelanjutan kisahnya.
            “ Kakek itu sudah sangat tua. Ketika bertemu denganku ia bertanya mengapa aku terlihat begitu mati padahal aku masih hidup. Aku hanya memberitahunya betapa menderitanya hidupku. Kakek itu tersenyum kemudian ia menceritakan sepenggal kisahnya sama seperti yang kulakukan padamu. Di akhir kisahnya ia mengatakan seperti ini.” Lian berdehem. “ Kalau kau selalu merasa hidupmu paling malang paling menderita, maka kau tidak akan bisa melihat sebenarnya betapa beruntungnya dirimu. Karena jika kau tahu sedikit saja bahwa kesulitan yang kau hadapi dalam hidupmu tak lebih besar dibanding orang lain, niscaya kau akan mensyukuri kehidupanmu sekarang.” Lian tersenyum sebentar kemudian melanjutkan ceritanya. “ Entah kenapa kata-kata kakek itu begitu menusuk hatiku, apalagi saat itu aku telah mendengar kisah hidupnya yang ternyata lebih mengerikan dari hidupku. Perkataan kakek itu membuatku tersadar masih banyak kebahagiaan dalam hidupku. Aku pun mulai memperbaiki diriku dan mencari sebuah pertanyaan yang diberikan olehnya.” Aku memandang Lia tak mengerti.
           “ Pertanyaan?” Lian mengangguk pelan. “ Ya, saat terakhir kali bertemu dengannya ia memberiku pertanyaan. Pertanyaan dari kakek itu sangat sederhana, namun sangat sulit dijawab, apa tujuan hidupmu, apa arti kehadiran dirimu di dunia ini.”
            “ Ah hari udah malam sekarang, ayo kita kembali.” Lian mengajakku kembali ketika langit merah telah berubah menjadi malam gelap. Angin bertiup cukup kencang membuatku harus merapatkan jaketku. Tiba-tiba saja aku merasakan sesak di dadaku, detak jantungku begitu tidak beraturan membuat napasku ikut tidak beraturan ternegah-engah. Aku memgang dada sebelah kiriku. Sakit sekali. Aku mulai kelimpungan, kakiku terasa lemas tidak mampu menopang berat badanku. Mataku berat. Yang kulihat terakhir kali hanyalah wajah penuh kecemasan dan kepanikan milik Lian. Setelah itu duniaku hitam.
            Saat aku membuka mataku, aku telah berada di ruanganku. Berbagai peralatan penopang kehidupan di pasang di seluruh tubuhku. Aku menghela napas berat. Mungkinkah akhir hidupku semakin dekat. Teringat terakhir kali percakapanku dengan Lian. Aku memandang langit-langit, kata-kata Lian terngiang di telingaku. “ Apa tujuan hidumu, apa arti kehadiran dirimu di dunia ini?” Entah kenapa pertanyaan itu juga mengangguku. Apakah aku sudah tahu untuk apa aku hidup dan apakah sebenarnya arti kehidupanku ini. Akankah aku mengakhiri hidupku tanpa arti tanpa makna.

Bersambung......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar