Sejak aku bertemu dengan Berlian, perlahan hitam
dalam kehidupanku mulai pudar. Ia begitu banyak memberikanku pelajaran mengenai
kebahagiaan, sahabat, dan indahnya dunia luar. Kami sering bermain bersama di
halaman rumah sakit yang cukup luas. Tak banyak yang aku dan Lian lakukan hanya
mengobrol bersama. Setiap aku bertemu dengannya senyuman selalu terpapar di
wajahnya.
“
Kenapa kamu selalu tersenyum?” tanyaku suatu ketika saat aku dan Lian menikmati
waktu bersama di tempat favorit kami, atap gedung rumah sakit.
“
Kenapa kamu bertanya Kinan? Aku selalu tersenyum karena aku merasa bahagia
dengan hidupku selama ini. Itu saja.” jawab Lian. Aku mengernyit heran. Segera
kupindahkan posisiku dan duduk di dekatnya.
“
Meskipun setiap hari kamu hanya berdiam di rumah sakit. Apakah kamu masih bisa
bahagia?” aku bertanya lagi.
“
Apakah sekarang hidupmu nggak bahagia Kinan?” Lian menoleh padaku menatapku
serius. Aku mengadahkan pandanganku ke langit yang mulai memerah. Matahari
mulai tenggelam di ufuk barat meninggalkan mega jingga. Bahagia. Kata-kata itu
menusuk-nusuk pikiranku. Apakah sekarang aku bahagia? Bahkan ketika aku tahu
hidupku tak mampu bertahan lama, apakah masih bisa kukatakan aku bahagia.
Memang setelah bertemu dengan Lian aku merasa kehidupanku menjadi lebih baik.
Aku mulai belajar bagaimana tersenyum. Tapi bahagia, benarkah aku merasakannya?
“
Entahlah Lian aku nggak tau. Hidupku selama ini tak pernah mengenal kata
bahagia. Bahkan kini setelah aku bertemu denganmu, justru rasa ketakutan yang
menyergapku, ketakutan akan kematian. Aku ingin menghabiskan waktu lebih lama
denganmu, tapi aku sadar dengan keadaanku ini aku nggak akan bisa hidup lebih
lama.” tanpa terasa aku memegang dadaku dimana jantungku berada. Sejak kecil
aku tahu keadaan jantungku sangat buruk. Tanpa obat-obatan mungkin sudah lama
aku menghilang dari dunia ini. Untuk menyembuhkan jantungku ini aku membutuhkan
transplatasi jantung. Tapi hal itu tak semudah membalikan tangan. Aku bahkan
sudah tidak berharap pada transplatasi itu. Dulu yang kuinginkan hanya cepat
menghilang dari muka bumi. Tapi setelah bertemu dengan Lian keinginan untuk
hidup semakin membuat yang justru membuatku ketakutan menghadapi maut.
“
Apakah kamu pernah merasa hidupmu adalah skenario terburuk dan termalang di dunia
ini?” Lian tiba-tiba bertanya padaku. Bola mata hitam beningnya memandangku
begitu serius. Di bola mataku terpancar kesedihan, pahit, rasa putus asa,
harapan, kebahagiaan dan semangat. Belum sempat aku menjawab Lian
menyunggingkan senyum samar dan berbisik lirih, namun cukup keras untuk dapat
kudengar.
“
Aku pernah merasakannya.” Aku membulatkan mata tak percaya.
“
Maukah kamu mendengarnya Kinan? Sepotong masa lalu terkelamku.” Aku mengangguk
mendekatkan tubuhku.
“ Hidupku
dulu sangat bahagia sampai sebuah kejadian yang memporak-porandakan kehidupanku
terjadi. Hidupku yang semula bagai di surga berubah menjadi neraka. Aku
kehilangan semua yang berharga, orang tuaku, adikku, rumahku, semuanya. Hidupku
sangat berantakan, aku terjerumus ke dalam kelamnya pergaulan. Sampai 6 bulan
yang lalu dokter mendiagnosisku terkena kanker paru. Saat itu aku sudah sangat
pasrah, aku tidak peduli apapun. Aku di rawat di rumah sakit setelah masuk
panti rehabilitasi, tapi tak ada yang berubah aku masih saja merasakan hampa
sampai suatu hari aku bertemu kakek tua di tempat ini.” Lian menjeda sebentar
ceritanya. Ia menatap langit kemerahan. Pandangan matanya terlihat memandang
begitu jauh entah kemana. Aku hanya diam menunggu kelanjutan kisahnya.
“
Kakek itu sudah sangat tua. Ketika bertemu denganku ia bertanya mengapa aku
terlihat begitu mati padahal aku masih hidup. Aku hanya memberitahunya betapa
menderitanya hidupku. Kakek itu tersenyum kemudian ia menceritakan sepenggal
kisahnya sama seperti yang kulakukan padamu. Di akhir kisahnya ia mengatakan
seperti ini.” Lian berdehem. “ Kalau kau selalu merasa hidupmu paling malang
paling menderita, maka kau tidak akan bisa melihat sebenarnya betapa
beruntungnya dirimu. Karena jika kau tahu sedikit saja bahwa kesulitan yang kau
hadapi dalam hidupmu tak lebih besar dibanding orang lain, niscaya kau akan
mensyukuri kehidupanmu sekarang.” Lian tersenyum sebentar kemudian melanjutkan
ceritanya. “ Entah kenapa kata-kata kakek itu begitu menusuk hatiku, apalagi
saat itu aku telah mendengar kisah hidupnya yang ternyata lebih mengerikan dari
hidupku. Perkataan kakek itu membuatku tersadar masih banyak kebahagiaan dalam
hidupku. Aku pun mulai memperbaiki diriku dan mencari sebuah pertanyaan yang
diberikan olehnya.” Aku memandang Lia tak mengerti.
“
Pertanyaan?” Lian mengangguk pelan. “ Ya, saat terakhir kali bertemu dengannya
ia memberiku pertanyaan. Pertanyaan dari kakek itu sangat sederhana, namun
sangat sulit dijawab, apa tujuan hidupmu, apa arti kehadiran dirimu di dunia
ini.”
“
Ah hari udah malam sekarang, ayo kita kembali.” Lian mengajakku kembali ketika
langit merah telah berubah menjadi malam gelap. Angin bertiup cukup kencang
membuatku harus merapatkan jaketku. Tiba-tiba saja aku merasakan sesak di
dadaku, detak jantungku begitu tidak beraturan membuat napasku ikut tidak
beraturan ternegah-engah. Aku memgang dada sebelah kiriku. Sakit sekali. Aku
mulai kelimpungan, kakiku terasa lemas tidak mampu menopang berat badanku.
Mataku berat. Yang kulihat terakhir kali hanyalah wajah penuh kecemasan dan
kepanikan milik Lian. Setelah itu duniaku hitam.
Saat
aku membuka mataku, aku telah berada di ruanganku. Berbagai peralatan penopang
kehidupan di pasang di seluruh tubuhku. Aku menghela napas berat. Mungkinkah
akhir hidupku semakin dekat. Teringat terakhir kali percakapanku dengan Lian.
Aku memandang langit-langit, kata-kata Lian terngiang di telingaku. “ Apa tujuan hidumu, apa arti kehadiran
dirimu di dunia ini?” Entah kenapa pertanyaan itu juga mengangguku. Apakah
aku sudah tahu untuk apa aku hidup dan apakah sebenarnya arti kehidupanku ini.
Akankah aku mengakhiri hidupku tanpa arti tanpa makna.
****
Aku
menghabiskan waktu di tempat tidurku begitu lama untuk dapat pulih ke keadaanku
yang sebelumnya. Dokter mengatakan padaku kondisi jantungku terus memburuk.
Tapi tak ada yang dapat kulakukan, bahkan jika aku ingin melakukan operasi
transplatasi tak ada donor untukku. Selama aku terbaring aku menyadari ternyata
hidupku tak seburuk yang aku pikirkan selama ini. Meski jarang, ayah dan ibu
tetap mengunjungiku. Meskipun kunjungan itu dilakukan pada larut malam, ketika
seharusnya aku terlelap. Di saat itu ibu membelai kepalaku mengecupnya begitu
lama, terkadang ia meneteskan air mata berdoa aagar aku lekas sembuh . Di lain
waktu ayah dan ibu juga datang berdua saat menjengukku.
Yang
membuatku sedih, selama aku terbaring tak pernah aku melihat sosok Lian. Biasanya
ia selalu berdiri di depan jendela dengan senyumannya dan mengajakku banyak
bercerita. Tapi kini Lian seolah lenyap tanpa jejak. Saat aku mulai baikan dan
berusaha mencarinya ia tak pernah ada dimanapun membuatku sangat khawatir.
Tapi
kekhawatiranku itu berubah menjadi kelegaan ketika melihatnya kembali tersenyum
di depan jendela kamarku. Tubuhnya lebih kurus dibanding sebelumnya. Wajahnya
juga terlihat pucat. Melihatnya dalam kondisi yang terlihat buruk, aku segera
beranjak dari tempat tidurku, tapi ia mencegahnya.
“
Tak perlu. Kamu harus banyak istirahat bukan? Maafkan aku ya, saat itu aku
mengajakmu ke atap yang berangin besar. Selama ini nampaknya aku terlalu
membuatmu lelah, sungguh maafkan aku.” Lian terlihat sangat menyesal dan sedih,
membuatku beranjak perlahan dari tempat tidurku. Wajah terkejutnya saat
melihatku bangkit tidak kuperdulikan. Tertatih aku berjalan ke depan jendela,
tempat dimana Lian berdiri. Tanpa banyak kata-kata aku memeluknya. Sungguh aku
tidak ingin melihat satu-satunya temanku terlihat sedih karena aku.
“
Bukan salahmu Lian. Aku kelelahan karena terlalu senang. Jangan meminta maaf
untuk hal yang bahkan bukan salahmu.” ucapku. Lian terisak. “ Dan kenapa kamu
sekarang kurusan. Apa kamu baik-baik aja?” kini giliranku bertanya. Kurasa baru
beberapa minggu tak kulihat sosoknya, dan kini ia malah terlihat jauh lebih
buruk dari keadaanku. Lian hanya menarik sudut bibirnya ke atas memaksakan diri
untuk tersenyum.
“
Nggak ada apa-apa, aku hanya sedikit kelelahan dan kurang makan. Itu saja.”
jawabnya kalem. Aku menunjukan ekspresi tidak percaya. Mana ada kelelahan
membuatnya seperti zombi yang kurus kering? Tapi tatapannya yang sulit
diartikan membuatku tidak bertanya lebih jauh.
“
Aku pergi dulu Kinan. Aku senang melihat keadaanmu membaik.”
“
Lian!” aku memanggilnya ketika tubuhnya berbalik.” Besok datanglah lagi ke
sini. Aku ingin mengobrol denganmu. Datanglah langsung ke kamarku.” Lian tidak
menjawab. Ia hanya mengangkat ibu jarinya ke atas. Aku tertawa kecil. Adanya
Lian di sini membuat rasa sepiku berkurang. Senyumannya dan segala kata-katanya
membuatku lebih semangat menjalani hidup. Terlebih lagi saat ia menceritakan
masa lalunya tempo hari dan nasihatnya. Entah mengapa kata-kata Lian saat itu
selalu terngiang di telingaku. Kata-katanya membuatku sadar, hidupku tak
seburuk yang aku pikirkan. Masih ada hal dalam hidupku yang pantas disyukuri.
Mungkin jika aku tak menemukan donorku, hidupku tak akan lama lagi. Tapi
setidaknya di sisa umurku aku ingin melakukan hal yang berguna, menemukan
tujuan hidupku, dan memperbaiki hidupku. Aku tidak ingin mengutuki hidupku
lagi.
Esok
harinya, sesuai janji Lian ia datang ke kamarku. Keadaannya tidak lebih baik
dari kemarin. Tubuhnya begitu kurus dengan wajah pucat. Aku bahkan berani
bertaruh keadaanku jauh lebih baik darinya. Meskipun berbagai alat terpasang di
tubuhku, setidaknya aku tidak sekurus Lian. Meski begitu ia tetap tersenyum
melihatku.
“
Kamu baik-baik aja?” tanyaku khawatir. Ia tertawa renyah.
“
Tentu. Harusnya aku yang bertanya begitu padamu.”
“
Kau keliatan sangat kurus.” aku berkata langsung.
“
Yah, aku memikirkanmu setiap hari Kinan.” Aku mengerucutkan bibir. Aku bertanya
serius tapi ia malah bercanda.
“
Aku serius.”
“
Aku juga.” terangnya.
“
Bagaimana keadaanmu. Kenapa di tubuhmu banyak sekali terpasang alat-alat?”
tanya Lian.
“
Nggak terlalu baik kurasa. Sampai sekarang belum ada donor yang cocok untukku.
Keadaan jantungku memang nggak pernah baik.” aku menghembuskan napas lelah.
Bahkan terkadang untuk mengambil napas saja dadaku terasa sakit. “ Tapi tak
mengapa, selama kamu ada di sini aku rasa aku akan baik-baik saja.” kataku.
Lian kembali tersenyum. Aneh sekali. Lian memang murah senyum. Tapi entah
mengapa kali ini aku merasa ada yang ganjil dengan senyumannya. Matanya yang
biasanya bersinar-sinar kali ini juga terlihat meredup.
“
Kamu yakin kamu nggak apa-apa?” aku kembali bertanya memastikan. “ Kalau kamu
punya masalah, ceritakan aja padaku. Aku pasti mendengarkan. Kita temankan?”
“
Aku sungguh nggak...”
Aku
memotong “ Jangan bohong Lian. Aku tau pasti ada sesuatu denganmu. Kenapa kamu
nggak mau cerita denganku. Apa kamu nggak pernah menganggapku temanmu?”
tanyaku. Lian menatapku nanar. “ Nggak Kinan, mana mungkin aku berpikir
begitu...”
“
Kalau begitu kenapa kamu nggak mau cerita padaku?” Aku kembali mendesaknya.
Lian tampak ragu. Ia menggigit bibir bawahnya seolah mencoba menahan tangis.
“
Aku ingin hidup lebih lama..” bisiknya dengan suara amat lirih. Hening. Aku
tidak tahu harus bagaimana merespon perkataan Lian. Ia terlhat begitu sedih
begitu frustasi.
“
Aku,” suaraku tercekat. Aku bahkan tidak bisa mengeluarkan suara, apalagi
menghiburnya. Kata-kata semangat dan jangan menyerah tidak bisa kuucapkan
padanya, karena aku sangat paham betapa Lian berusaha untuk tetap hidup. Ia
sudah lama menderita penyakit yang parah, tapi semangat hidupnya yang tinggi
membuatnya tetap sehat hingga sekarang. Tapi hari ini aku seolah melihat sosok
Lian yang lain. Lian yang ada di depanku terlihat begitu putus asa.
“
Lian.” aku memanggilnya. “ Aku tau aku nggak berhak berkata apapun padamu. Aku
nggak mau mengucapkan semangat atau jangan menyerah, karena kamu selalu
berusaha yang terbaik. Aku sungguh nggak tau harus mengatakan apa, karena
sekarang aku juga merasakan hal yang sama denganmu.” akhirnya aku mengatakan
apa yang aku rasakan pada Lian. “ Jadi, mari kita berusaha keras bersama-sama
untuk tetap hidup menyapa mentari pagi. Bukankah kamu sendiri yang bilang,
bersedih dan putus asa hanya akan memperpendek hidupmu?” Lian tertawa. Tawa
lepas yang kudengar pertama kalinya. Perlahan mendung yang terlihat di matanya
mulai menghilang digantikan oleh sinar yang biasa aku lihat. Lian sahabat yang
aku kenal kini telah kembali. Lian menyunggingkan senyum. Kali ini bukan senyum
yang ia paksakan tapi senyuman tulus dari dirinya yang entah mengapa membuat
hatiku terasa hangat.
****
Aku
mendesah gelisah. Lian kini kembali menghilang. Setelah kejadian itu setiap
hari Lian selalu datang ke kamarku. Kami mengobrol tentang banyak hal. Aku yang
tidak diperkenankan keluar kamar seringkali hanya mendengar kabar di luar kamar
dari dirinya. Terkadang Lian juga menceritakan mengenai progres pengobatannya.
Tapi mendadak ia lenyap begitu saja. Sudah lebih dari 3 hari aku tidak
melihatnya. Ia juga tidak datang mengunjungiku. Aku sering kali bertanya pada
perawat yang merawatku dimana Lian. Tapi perawat itu malah tidak menjawab
pertanyaanku dan membuatku kesal. Aku memutuskan untuk mencari Lian.
Aku
melepas alat-alat bantu yang tertempel di tubuhku. Hari ini aku merasa lebih
baik dibanding hari lainnya. Aku berencana untuk mencari Lian. Aku
mengendap-endap keluar dari kamar. Meski sudah merasa sehat, sebenarnya aku
masih tidak diperbolehkan untuk keluar kamar. Tempat pertama yang aku cari
adalah kamar Lian. Beberapa kali aku pernah mengunjungi kamarnya. Kamar Lian
terletak cukup jauh dari kamarku. Aku berjalan perlahan menuju kamar Lian.
Sebisa mungkin aku berusaha agar tidak merasa lelah. Terus-terusan berbaring
selama ini membuat staminaku sangat buruk. Aku semakin mendekati kamar Lian.
Ketika pintu kamar Lian kubuka, sebuah pemandangan mengjutkan membuat jantungku
kembali berdetak tidak beraturan. Napasku mendadak terasa berat, dadaku sesak
dan sakit. Wajah terlelap Lian adalah hal terakhir yang bisa kuingat dengan
baik.
Saat
aku membuka mata aku telah berada di kamarku. Tentu saja dengan semua peralatan
kembali terpasang di tubuhku. Kedua orang tuaku terlihat begitu khawatir. Aku
berusaha mengingat apa yang terjadi padaku. Ingatan itu kembali melintas. Wajah
pucat Lian. Peralatan yang tak kalah banyaknya denganku, detak jantung yang
sudah tak terdeteksi. Pecahan ingatan itu menusuk-nusuk kepalaku, menyakitkan.
Tanpa sadar pipiku telah basah oleh air mata. Senyuman Lian, tawanya, wajah
putus asanya dan wajah terlelapnya datang silih berganti di kepalaku. Aku tak
bisa berhenti menangis, saat aku menyadarinya. Lian telah tiada.
*****
6 bulan
kemudian...
Angin
berhembus semillir terasa sejuk. Meski cuaca hari ini begitu cerah, dan
matahari bersinar begitu terang, berkat pepohonan di sekelilingku rasa panas
tak terlalu terasa.Aku berdiri di depan sebuah batu nisan. Terukir diatasnya
nama sahabatku Berlian.
“
Hai Lian gimana kabarmu? Maafkan aku baru mengunjungimu. Butuh waktu 6 bulan
bagiku menerima ini.” Aku menunjuk dada sebelah kiriku. “ Terima kasih sudah
memberikannya padaku, dan membuatku bisa hidup lebih lama.” Aku tersenyum tipis.
“ Ah dan terimakasih juga untuk suratnya.” Aku mengeluarkan sebuah surat yang
ditulis Lian sebelum akhir hidupnya. Aku kembali membaca tulisan Lian dalam
surat itu.
Hai Kinan, jika surat ini telah berada di
tanganmu itu tandanya aku sudah tak lagi menjadi penghuni dunia ini. Sebelumnya
aku ingin mengucapkan maaf padamu karena aku pergi tanpa mengucapkan apapun
padamu. Dan juga aku ingin mengucapkan terimakasih, telah menemaniku sampai
akhirku. Aku bahagia bertemu denganmu. Pertemuan denganmu merupakan anugrah
untukku. Karena saat bertemu denganmu, pertanyaan yang aku cari dalam hidupku
selama ini menemukan jawabannya.
Kamu masih ingat Kinan saat aku
memberitahumu aku masih ingin hidup? Aku benar-benar berharap begitu, tapi aku
sadar kalau hidupku tak mungkin bisa diperpanjang lagi. Karena itulah aku
mendonorkan jantungku ini untukmu. Aku ingin hidup lebih lama, tapi jika aku
tak bisa hidup di dalam jasadku sendiri, setidaknya aku bisa hidup bersamamu
sahabatku. Hei kamu masih ingat bukan pertanyaan hidupku? Ya benar, selama ini
aku selalu berpikir apa tujuanku untuk hidup dan kurasa tujuanku adalah bertemu
denganmu dan memberikan jantung ini padamu, sehingga kamu dan aku bisa hidup
lebih lama.
Hiduplah Kinan, carilah berbagai hal
di dunia ini yang belum kamu ketahui, sebagai bagian dari hidupku juga hidupmu.
Berlian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar