Sabtu, 07 November 2015

Dear Friends (Last Part)



Sejak aku bertemu dengan Berlian, perlahan hitam dalam kehidupanku mulai pudar. Ia begitu banyak memberikanku pelajaran mengenai kebahagiaan, sahabat, dan indahnya dunia luar. Kami sering bermain bersama di halaman rumah sakit yang cukup luas. Tak banyak yang aku dan Lian lakukan hanya mengobrol bersama. Setiap aku bertemu dengannya senyuman selalu terpapar di wajahnya.
            “ Kenapa kamu selalu tersenyum?” tanyaku suatu ketika saat aku dan Lian menikmati waktu bersama di tempat favorit kami, atap gedung rumah sakit.
           “ Kenapa kamu bertanya Kinan? Aku selalu tersenyum karena aku merasa bahagia dengan hidupku selama ini. Itu saja.” jawab Lian. Aku mengernyit heran. Segera kupindahkan posisiku dan duduk di dekatnya.
            “ Meskipun setiap hari kamu hanya berdiam di rumah sakit. Apakah kamu masih bisa bahagia?” aku bertanya lagi.

            “ Apakah sekarang hidupmu nggak bahagia Kinan?” Lian menoleh padaku menatapku serius. Aku mengadahkan pandanganku ke langit yang mulai memerah. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat meninggalkan mega jingga. Bahagia. Kata-kata itu menusuk-nusuk pikiranku. Apakah sekarang aku bahagia? Bahkan ketika aku tahu hidupku tak mampu bertahan lama, apakah masih bisa kukatakan aku bahagia. Memang setelah bertemu dengan Lian aku merasa kehidupanku menjadi lebih baik. Aku mulai belajar bagaimana tersenyum. Tapi bahagia, benarkah aku merasakannya?
            “ Entahlah Lian aku nggak tau. Hidupku selama ini tak pernah mengenal kata bahagia. Bahkan kini setelah aku bertemu denganmu, justru rasa ketakutan yang menyergapku, ketakutan akan kematian. Aku ingin menghabiskan waktu lebih lama denganmu, tapi aku sadar dengan keadaanku ini aku nggak akan bisa hidup lebih lama.” tanpa terasa aku memegang dadaku dimana jantungku berada. Sejak kecil aku tahu keadaan jantungku sangat buruk. Tanpa obat-obatan mungkin sudah lama aku menghilang dari dunia ini. Untuk menyembuhkan jantungku ini aku membutuhkan transplatasi jantung. Tapi hal itu tak semudah membalikan tangan. Aku bahkan sudah tidak berharap pada transplatasi itu. Dulu yang kuinginkan hanya cepat menghilang dari muka bumi. Tapi setelah bertemu dengan Lian keinginan untuk hidup semakin membuat yang justru membuatku ketakutan menghadapi maut.
            “ Apakah kamu pernah merasa hidupmu adalah skenario terburuk dan termalang di dunia ini?” Lian tiba-tiba bertanya padaku. Bola mata hitam beningnya memandangku begitu serius. Di bola mataku terpancar kesedihan, pahit, rasa putus asa, harapan, kebahagiaan dan semangat. Belum sempat aku menjawab Lian menyunggingkan senyum samar dan berbisik lirih, namun cukup keras untuk dapat kudengar.
            “ Aku pernah merasakannya.” Aku membulatkan mata tak percaya.
            “ Maukah kamu mendengarnya Kinan? Sepotong masa lalu terkelamku.” Aku mengangguk mendekatkan tubuhku.
            “ Hidupku dulu sangat bahagia sampai sebuah kejadian yang memporak-porandakan kehidupanku terjadi. Hidupku yang semula bagai di surga berubah menjadi neraka. Aku kehilangan semua yang berharga, orang tuaku, adikku, rumahku, semuanya. Hidupku sangat berantakan, aku terjerumus ke dalam kelamnya pergaulan. Sampai 6 bulan yang lalu dokter mendiagnosisku terkena kanker paru. Saat itu aku sudah sangat pasrah, aku tidak peduli apapun. Aku di rawat di rumah sakit setelah masuk panti rehabilitasi, tapi tak ada yang berubah aku masih saja merasakan hampa sampai suatu hari aku bertemu kakek tua di tempat ini.” Lian menjeda sebentar ceritanya. Ia menatap langit kemerahan. Pandangan matanya terlihat memandang begitu jauh entah kemana. Aku hanya diam menunggu kelanjutan kisahnya.
            “ Kakek itu sudah sangat tua. Ketika bertemu denganku ia bertanya mengapa aku terlihat begitu mati padahal aku masih hidup. Aku hanya memberitahunya betapa menderitanya hidupku. Kakek itu tersenyum kemudian ia menceritakan sepenggal kisahnya sama seperti yang kulakukan padamu. Di akhir kisahnya ia mengatakan seperti ini.” Lian berdehem. “ Kalau kau selalu merasa hidupmu paling malang paling menderita, maka kau tidak akan bisa melihat sebenarnya betapa beruntungnya dirimu. Karena jika kau tahu sedikit saja bahwa kesulitan yang kau hadapi dalam hidupmu tak lebih besar dibanding orang lain, niscaya kau akan mensyukuri kehidupanmu sekarang.” Lian tersenyum sebentar kemudian melanjutkan ceritanya. “ Entah kenapa kata-kata kakek itu begitu menusuk hatiku, apalagi saat itu aku telah mendengar kisah hidupnya yang ternyata lebih mengerikan dari hidupku. Perkataan kakek itu membuatku tersadar masih banyak kebahagiaan dalam hidupku. Aku pun mulai memperbaiki diriku dan mencari sebuah pertanyaan yang diberikan olehnya.” Aku memandang Lia tak mengerti.
           “ Pertanyaan?” Lian mengangguk pelan. “ Ya, saat terakhir kali bertemu dengannya ia memberiku pertanyaan. Pertanyaan dari kakek itu sangat sederhana, namun sangat sulit dijawab, apa tujuan hidupmu, apa arti kehadiran dirimu di dunia ini.”
            “ Ah hari udah malam sekarang, ayo kita kembali.” Lian mengajakku kembali ketika langit merah telah berubah menjadi malam gelap. Angin bertiup cukup kencang membuatku harus merapatkan jaketku. Tiba-tiba saja aku merasakan sesak di dadaku, detak jantungku begitu tidak beraturan membuat napasku ikut tidak beraturan ternegah-engah. Aku memgang dada sebelah kiriku. Sakit sekali. Aku mulai kelimpungan, kakiku terasa lemas tidak mampu menopang berat badanku. Mataku berat. Yang kulihat terakhir kali hanyalah wajah penuh kecemasan dan kepanikan milik Lian. Setelah itu duniaku hitam.
            Saat aku membuka mataku, aku telah berada di ruanganku. Berbagai peralatan penopang kehidupan di pasang di seluruh tubuhku. Aku menghela napas berat. Mungkinkah akhir hidupku semakin dekat. Teringat terakhir kali percakapanku dengan Lian. Aku memandang langit-langit, kata-kata Lian terngiang di telingaku. “ Apa tujuan hidumu, apa arti kehadiran dirimu di dunia ini?” Entah kenapa pertanyaan itu juga mengangguku. Apakah aku sudah tahu untuk apa aku hidup dan apakah sebenarnya arti kehidupanku ini. Akankah aku mengakhiri hidupku tanpa arti tanpa makna.
****
            Aku menghabiskan waktu di tempat tidurku begitu lama untuk dapat pulih ke keadaanku yang sebelumnya. Dokter mengatakan padaku kondisi jantungku terus memburuk. Tapi tak ada yang dapat kulakukan, bahkan jika aku ingin melakukan operasi transplatasi tak ada donor untukku. Selama aku terbaring aku menyadari ternyata hidupku tak seburuk yang aku pikirkan selama ini. Meski jarang, ayah dan ibu tetap mengunjungiku. Meskipun kunjungan itu dilakukan pada larut malam, ketika seharusnya aku terlelap. Di saat itu ibu membelai kepalaku mengecupnya begitu lama, terkadang ia meneteskan air mata berdoa aagar aku lekas sembuh . Di lain waktu ayah dan ibu juga datang berdua saat menjengukku.
            Yang membuatku sedih, selama aku terbaring tak pernah aku melihat sosok Lian. Biasanya ia selalu berdiri di depan jendela dengan senyumannya dan mengajakku banyak bercerita. Tapi kini Lian seolah lenyap tanpa jejak. Saat aku mulai baikan dan berusaha mencarinya ia tak pernah ada dimanapun membuatku sangat khawatir.
            Tapi kekhawatiranku itu berubah menjadi kelegaan ketika melihatnya kembali tersenyum di depan jendela kamarku. Tubuhnya lebih kurus dibanding sebelumnya. Wajahnya juga terlihat pucat. Melihatnya dalam kondisi yang terlihat buruk, aku segera beranjak dari tempat tidurku, tapi ia mencegahnya.
            “ Tak perlu. Kamu harus banyak istirahat bukan? Maafkan aku ya, saat itu aku mengajakmu ke atap yang berangin besar. Selama ini nampaknya aku terlalu membuatmu lelah, sungguh maafkan aku.” Lian terlihat sangat menyesal dan sedih, membuatku beranjak perlahan dari tempat tidurku. Wajah terkejutnya saat melihatku bangkit tidak kuperdulikan. Tertatih aku berjalan ke depan jendela, tempat dimana Lian berdiri. Tanpa banyak kata-kata aku memeluknya. Sungguh aku tidak ingin melihat satu-satunya temanku terlihat sedih karena aku.
            “ Bukan salahmu Lian. Aku kelelahan karena terlalu senang. Jangan meminta maaf untuk hal yang bahkan bukan salahmu.” ucapku. Lian terisak. “ Dan kenapa kamu sekarang kurusan. Apa kamu baik-baik aja?” kini giliranku bertanya. Kurasa baru beberapa minggu tak kulihat sosoknya, dan kini ia malah terlihat jauh lebih buruk dari keadaanku. Lian hanya menarik sudut bibirnya ke atas memaksakan diri untuk tersenyum.
            “ Nggak ada apa-apa, aku hanya sedikit kelelahan dan kurang makan. Itu saja.” jawabnya kalem. Aku menunjukan ekspresi tidak percaya. Mana ada kelelahan membuatnya seperti zombi yang kurus kering? Tapi tatapannya yang sulit diartikan membuatku tidak bertanya lebih jauh.
            “ Aku pergi dulu Kinan. Aku senang melihat keadaanmu membaik.”
            “ Lian!” aku memanggilnya ketika tubuhnya berbalik.” Besok datanglah lagi ke sini. Aku ingin mengobrol denganmu. Datanglah langsung ke kamarku.” Lian tidak menjawab. Ia hanya mengangkat ibu jarinya ke atas. Aku tertawa kecil. Adanya Lian di sini membuat rasa sepiku berkurang. Senyumannya dan segala kata-katanya membuatku lebih semangat menjalani hidup. Terlebih lagi saat ia menceritakan masa lalunya tempo hari dan nasihatnya. Entah mengapa kata-kata Lian saat itu selalu terngiang di telingaku. Kata-katanya membuatku sadar, hidupku tak seburuk yang aku pikirkan. Masih ada hal dalam hidupku yang pantas disyukuri. Mungkin jika aku tak menemukan donorku, hidupku tak akan lama lagi. Tapi setidaknya di sisa umurku aku ingin melakukan hal yang berguna, menemukan tujuan hidupku, dan memperbaiki hidupku. Aku tidak ingin mengutuki hidupku lagi.
            Esok harinya, sesuai janji Lian ia datang ke kamarku. Keadaannya tidak lebih baik dari kemarin. Tubuhnya begitu kurus dengan wajah pucat. Aku bahkan berani bertaruh keadaanku jauh lebih baik darinya. Meskipun berbagai alat terpasang di tubuhku, setidaknya aku tidak sekurus Lian. Meski begitu ia tetap tersenyum melihatku.
            “ Kamu baik-baik aja?” tanyaku khawatir. Ia tertawa renyah.
            “ Tentu. Harusnya aku yang bertanya begitu padamu.”
            “ Kau keliatan sangat kurus.” aku berkata langsung.
            “ Yah, aku memikirkanmu setiap hari Kinan.” Aku mengerucutkan bibir. Aku bertanya serius tapi ia malah bercanda.
            “ Aku serius.”
            “ Aku juga.” terangnya.
            “ Bagaimana keadaanmu. Kenapa di tubuhmu banyak sekali terpasang alat-alat?” tanya Lian.
            “ Nggak terlalu baik kurasa. Sampai sekarang belum ada donor yang cocok untukku. Keadaan jantungku memang nggak pernah baik.” aku menghembuskan napas lelah. Bahkan terkadang untuk mengambil napas saja dadaku terasa sakit. “ Tapi tak mengapa, selama kamu ada di sini aku rasa aku akan baik-baik saja.” kataku. Lian kembali tersenyum. Aneh sekali. Lian memang murah senyum. Tapi entah mengapa kali ini aku merasa ada yang ganjil dengan senyumannya. Matanya yang biasanya bersinar-sinar kali ini juga terlihat meredup.
            “ Kamu yakin kamu nggak apa-apa?” aku kembali bertanya memastikan. “ Kalau kamu punya masalah, ceritakan aja padaku. Aku pasti mendengarkan. Kita temankan?”
            “ Aku sungguh nggak...”
            Aku memotong “ Jangan bohong Lian. Aku tau pasti ada sesuatu denganmu. Kenapa kamu nggak mau cerita denganku. Apa kamu nggak pernah menganggapku temanmu?” tanyaku. Lian menatapku nanar. “ Nggak Kinan, mana mungkin aku berpikir begitu...”
            “ Kalau begitu kenapa kamu nggak mau cerita padaku?” Aku kembali mendesaknya. Lian tampak ragu. Ia menggigit bibir bawahnya seolah mencoba menahan tangis.
            “ Aku ingin hidup lebih lama..” bisiknya dengan suara amat lirih. Hening. Aku tidak tahu harus bagaimana merespon perkataan Lian. Ia terlhat begitu sedih begitu frustasi.
            “ Aku,” suaraku tercekat. Aku bahkan tidak bisa mengeluarkan suara, apalagi menghiburnya. Kata-kata semangat dan jangan menyerah tidak bisa kuucapkan padanya, karena aku sangat paham betapa Lian berusaha untuk tetap hidup. Ia sudah lama menderita penyakit yang parah, tapi semangat hidupnya yang tinggi membuatnya tetap sehat hingga sekarang. Tapi hari ini aku seolah melihat sosok Lian yang lain. Lian yang ada di depanku terlihat begitu putus asa.
            “ Lian.” aku memanggilnya. “ Aku tau aku nggak berhak berkata apapun padamu. Aku nggak mau mengucapkan semangat atau jangan menyerah, karena kamu selalu berusaha yang terbaik. Aku sungguh nggak tau harus mengatakan apa, karena sekarang aku juga merasakan hal yang sama denganmu.” akhirnya aku mengatakan apa yang aku rasakan pada Lian. “ Jadi, mari kita berusaha keras bersama-sama untuk tetap hidup menyapa mentari pagi. Bukankah kamu sendiri yang bilang, bersedih dan putus asa hanya akan memperpendek hidupmu?” Lian tertawa. Tawa lepas yang kudengar pertama kalinya. Perlahan mendung yang terlihat di matanya mulai menghilang digantikan oleh sinar yang biasa aku lihat. Lian sahabat yang aku kenal kini telah kembali. Lian menyunggingkan senyum. Kali ini bukan senyum yang ia paksakan tapi senyuman tulus dari dirinya yang entah mengapa membuat hatiku terasa hangat.
****
            Aku mendesah gelisah. Lian kini kembali menghilang. Setelah kejadian itu setiap hari Lian selalu datang ke kamarku. Kami mengobrol tentang banyak hal. Aku yang tidak diperkenankan keluar kamar seringkali hanya mendengar kabar di luar kamar dari dirinya. Terkadang Lian juga menceritakan mengenai progres pengobatannya. Tapi mendadak ia lenyap begitu saja. Sudah lebih dari 3 hari aku tidak melihatnya. Ia juga tidak datang mengunjungiku. Aku sering kali bertanya pada perawat yang merawatku dimana Lian. Tapi perawat itu malah tidak menjawab pertanyaanku dan membuatku kesal. Aku memutuskan untuk mencari Lian.
            Aku melepas alat-alat bantu yang tertempel di tubuhku. Hari ini aku merasa lebih baik dibanding hari lainnya. Aku berencana untuk mencari Lian. Aku mengendap-endap keluar dari kamar. Meski sudah merasa sehat, sebenarnya aku masih tidak diperbolehkan untuk keluar kamar. Tempat pertama yang aku cari adalah kamar Lian. Beberapa kali aku pernah mengunjungi kamarnya. Kamar Lian terletak cukup jauh dari kamarku. Aku berjalan perlahan menuju kamar Lian. Sebisa mungkin aku berusaha agar tidak merasa lelah. Terus-terusan berbaring selama ini membuat staminaku sangat buruk. Aku semakin mendekati kamar Lian. Ketika pintu kamar Lian kubuka, sebuah pemandangan mengjutkan membuat jantungku kembali berdetak tidak beraturan. Napasku mendadak terasa berat, dadaku sesak dan sakit. Wajah terlelap Lian adalah hal terakhir yang bisa kuingat dengan baik.
            Saat aku membuka mata aku telah berada di kamarku. Tentu saja dengan semua peralatan kembali terpasang di tubuhku. Kedua orang tuaku terlihat begitu khawatir. Aku berusaha mengingat apa yang terjadi padaku. Ingatan itu kembali melintas. Wajah pucat Lian. Peralatan yang tak kalah banyaknya denganku, detak jantung yang sudah tak terdeteksi. Pecahan ingatan itu menusuk-nusuk kepalaku, menyakitkan. Tanpa sadar pipiku telah basah oleh air mata. Senyuman Lian, tawanya, wajah putus asanya dan wajah terlelapnya datang silih berganti di kepalaku. Aku tak bisa berhenti menangis, saat aku menyadarinya. Lian telah tiada.
*****
6 bulan kemudian...
            Angin berhembus semillir terasa sejuk. Meski cuaca hari ini begitu cerah, dan matahari bersinar begitu terang, berkat pepohonan di sekelilingku rasa panas tak terlalu terasa.Aku berdiri di depan sebuah batu nisan. Terukir diatasnya nama sahabatku Berlian.
            “ Hai Lian gimana kabarmu? Maafkan aku baru mengunjungimu. Butuh waktu 6 bulan bagiku menerima ini.” Aku menunjuk dada sebelah kiriku. “ Terima kasih sudah memberikannya padaku, dan membuatku bisa hidup lebih lama.” Aku tersenyum tipis. “ Ah dan terimakasih juga untuk suratnya.” Aku mengeluarkan sebuah surat yang ditulis Lian sebelum akhir hidupnya. Aku kembali membaca tulisan Lian dalam surat itu.
            Hai Kinan, jika surat ini telah berada di tanganmu itu tandanya aku sudah tak lagi menjadi penghuni dunia ini. Sebelumnya aku ingin mengucapkan maaf padamu karena aku pergi tanpa mengucapkan apapun padamu. Dan juga aku ingin mengucapkan terimakasih, telah menemaniku sampai akhirku. Aku bahagia bertemu denganmu. Pertemuan denganmu merupakan anugrah untukku. Karena saat bertemu denganmu, pertanyaan yang aku cari dalam hidupku selama ini menemukan jawabannya.
            Kamu masih ingat Kinan saat aku memberitahumu aku masih ingin hidup? Aku benar-benar berharap begitu, tapi aku sadar kalau hidupku tak mungkin bisa diperpanjang lagi. Karena itulah aku mendonorkan jantungku ini untukmu. Aku ingin hidup lebih lama, tapi jika aku tak bisa hidup di dalam jasadku sendiri, setidaknya aku bisa hidup bersamamu sahabatku. Hei kamu masih ingat bukan pertanyaan hidupku? Ya benar, selama ini aku selalu berpikir apa tujuanku untuk hidup dan kurasa tujuanku adalah bertemu denganmu dan memberikan jantung ini padamu, sehingga kamu dan aku bisa hidup lebih lama.
            Hiduplah Kinan, carilah berbagai hal di dunia ini yang belum kamu ketahui, sebagai bagian dari hidupku juga hidupmu.
                                                                                                            Berlian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar