Kamis, 05 November 2015

Curahan Hati Sang Pohon



Aku memandang langit. Langit yang dulu berwarna biru cerah, kini telah terselimuti kabut asap tebal. Aku mengeluh pelan. Dimana lagi sinar matahari hangat yang biasa aku rasakan? Kalau begini terus keadaannya, tak bisalah aku memproduksi makanan. Apakah aku harus mati secara perlahan yang pastinya akan menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap kehidupan makhluk yang lain. Tapi, tanpa harus kehilangan sinar mentari pun, tampaknya sebentar lagi giliranku meregang nyawa. Setelah melihat begitu banyak kawanku dibakar secara sadis, aku tidak bisa menjamin akan ada seseorang yang mau menyelamatkanku dan kawan-kawanku yang tersisa. Kadang aku tidak habis pikir dengan makhluk bernama manusia itu. Hanya demi keuntungan yang tidak seberapa besar, mereka tega membasmi aku dan kawan-kawanku, memusnahkannya hingga menjadi abu. Tidakkah mereka pikir apa akibatnya jika aku dan kawan-kawanku hilang dari peredaran bumi. Suhu menjadi panas karena perubahan iklim bukanlah akibat terberat dari mulai berkurangnya populasi kaumku di muka bumi. Masih ada sederet masalah yang akan dihadapi manusia jika mereka terus membakar kaumku demi pundi-pundi emas yang tidak seberapa. Haruskah aku memaparkannya? Tidak bukan. Manusia jauh lebih cerdas dibandingkan aku. Mereka tentulah tahu akibat jika saja aku menghilang dari dunia ini.

            Tapi satu hal yang akan kutegaskan. Jika manusia tidak berhenti melakukan pembakaran terhadap tempat tinggalku, maka katakanlah selamat tinggal terhadap anak-anakmu, cucu-cucumu, dan generasi penerusmu. Meskipun kau merasa kaya dengan uang yang kau kumpulkan, tapi apalah arti setumpuk kertas itu, jika aku tak lagi ada. Hewan-hewan akan mulai kehilangan markasnya dan mulai menjarah di tempat tinggal manusia. Berbagai penyakit mengintai karena kabut asap hasil pembakaran kawan-kawanku. Lalu bagaimana kau akan menggunakan kekayaanmu? Akankah masih berguna uang dan harta ketika tak ada lagi yang dapat dibeli. Akankah berguna deeretan angka yang membuatmu buta dan dengan rakus dan seenaknya mengeksploitasi aku, kawan-kawanku dan tempat tinggalku ketika semua sudah musnah? Ku pikir tidak.  
            Kalau kaumku tidak lagi ada di dunia ini, apa yang bisa kau lakukan wahai manusia? Bisakah kau masih berdiri di kedua kakimu dengan teguh dan hidup damai. Bisakah kau bernapas menghirup oksigen dengan nyaman ketika nanti aku tak lagi berdiri tegak di tanah bumi ini? Sekarang dengan seenaknya kau membantai kaumku, kau kurangi tempat tinggalku. Semual tempat tinggalku sangat rimbun dan sangat luas, kemudian kau kurangi untuk keperluan tempat tinggal, kemudian kau kurangi lagi untuk lahan industri, kemudian kau kurangi lagi untuk yang lain. Seperti itulah yang terus kalian lakukan padaku, membuat tempat tinggalku yang luas kini menyempit. Tak ada lagi tempat untuk kami hidup. Aku sangat sedih melihat perilaku kalian hai manusia. Tidak tahukah kau, bahwa kelakuanmu itu akan memberikan penderitaan untuk makhluk lainnya. Kau melukai kami, memusnahkan kami. Saat kau melakukannya sebenranya tak hanya kami yang kau lukai melainkan hewan-hewan dan juga masa depanmu sendiri. Tak pernahkah kau berpikir bagaimana masa depanmu apabila tak ada kami? Yakinkah kau masih akan hidup dengan damai? Membayangkannya saja aku tak mampu.
            Sudah saatnya bagi kalian kaum manusia untuk membuka mati kalian dengan selebar-lebarnya. Lihatlah fenomena di sekitar kalian. Ketika kaumku dibakar hanya demi keuntungan yang tak seberapa, berapa banyak saudara kalian yang jatuh, terkapar oleh asap-asap pembakaran itu. Benarkah kalian mendapatkan untung dari perbuatan kalian yang membakar kaumku? Kalian pasti menyadari bukan. Keuntungan itu tak seberapa dibandingkan dengan kerugian yang kalian dapatkan. Itu hanya dalam jangka pendek. Jika perbuatan kalian masih terus dilakukan, aku tak heran jika dalam beberapa ratus tahun lagi populasi manusia akan menghilang dari peradaban.
            Aku bukanlah apa-apa, hanya sebuah batang kayu yang prihatin atas kelakuan kalian wahai manusia. Aku hanya ingin mengatakan semua ini demi kebaikan kita bersama. Kebaikanmu dan juga kebaikan kaumku. Aku sungguh tak ingin lagi melihat kawan-kawanku menjerit ketika api itu menjilati tubuh kawan-kawanku dan mengubahnya menjadi abu. Aku juga tak ingin melihat kalian manusia ambruk jatuh sakit karena asap hasil pembakaran itu. Aku tidak ingin melihat kalian manusia menjadi punah akibat perbuatan kalian sendiri. Bukankah manusia adalah pemimpin di bumi ini? Maka pimpinlah bumi menjadi lebih baik. Buatlah bumi menjadi tempat yang dapat ditinggali oleh kaum mu, oleh kaumku dan kaum hewan. Jangan jadikan bumi sebagai neraka dunia. Itu saja yang ingin aku beritahu padamu. Jagalah aku dan kaumku atau kau akan menyesal selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar