Anin mematut bayangannya di depan cermin entah untuk yang ke berapa kalinya. Setiap kali bola matanya memandang bayangannya di cermin mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala. Setelah itu desahan napas berat terdengar meluncur dari bibir gadis berusia 17 tahun itu. Anin merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Ia kembali mendesah gelisah. Elia, sahabatnya yang berbaring di sebelahnya mengerutkan dahi heran dengan tingkah laku Anin yang ia rasa begitu aneh sedari tadi.
“
Kamu kenapa Nin?” tanya Elia
“
Aku gemuk banget El, padahal udah diet masih aja gemuk kan bete.” keluh Anin.
Elia memandang tubuh Anin menyelidik dari ujung kaki ke ujung kepala. Ia
menggeleng-gelengkan kepala memilih untuk tidak komentar. Malah dengan santai,
Elia mengambil salah satu snack milik
Anin di meja.
“
Hei, aku lagi ngomong sama kamu El bukannya di tanggapin malah dicuekin. Dan
jangan ambil makananku tanpa izin.” ucap Anin sambil merebut makanan dari
tangan Elia membuat gadis itu memberengut.
“
Yaelah Anin kamu itu nggak gemuk-gemuk banget kok. Memang tubuhmu itu besar,
jadi kamu keliatan gemuk, tapi aku jamin deh kamu nggak obesitas kok.” Anin
melotot kesal mendengar jawaban Elia. Elia memang bisa berbicara seperti itu
karena tubuhnya begitu ideal dan ia berat badannya tidak pernah naik sebanyak
apapun ia makan. Bandingkan saja dengan dirinya, hanya makan sedikit saja
esoknya tubuhnya sudah mekar.
“
Apa aku diet rendah kalori aja ya?” tanya Anin.
“
Anin, udah berapa kali ku bilang, kamu itu nggak gemuk sama sekali nggak gemuk.
Oke mungkin kamu sedikit kelebihan berat badan tapi nggak usah khawatir gitu,”
Mendengar jawaban Elia, Anin bukannya senang justru malah mendengus kesal.
“
Terserah apa katamu pokoknya aku akan diet.” Anin mengukuhkan niatnya. Elia
menelan ludah melihat tingkah laku Anin. Kalau sudah begini Anin tak akan
mendengar apapun perkataan Elia.
****
Sudah
lebih dari sebulan sejak Anin mengukuhkan dirinya untuk berdiet demi bentuk
tubuh ideal. Kini gadis itu tengah berdiri di depan cermin mematut bayangannya.
Anin ingin melihat perubahan yang dialamnya. Di sampingnya tetap Elia berbaring
menatap Anin. Anin mendesah kecewa. Tak ada perubahan yang signifikan pada
tubuhnya. Ia masih gemuk seperti sebulan yang lalu.
“
Kenapa sih aku nggak kurus-kurus padahal porsi makanku sudah aku kurangi.”
keluh Anin kecewa. Elia memandang tubuh Anin heran. Ia tidak mengerti apa yang
diinginkan sahabatnya itu. Tubuh Anin memang tidak kurus dan sedikit berisi.
Pipinya chubby dan terlihat lucu.
Tapi menurut Elia tidak ada yang perlu Anin perbaiki dari penampilannya.
Sebenarnya kata-kata itu yang ingin Elia ucapkan pada Anin, namun tidak jadi ia
ucapkan karena Anin pasti ngambek kalau Elia bilang Anin sama sekali tidak
kegemukan. Jadi Elia memilih untuk diam sambil memakan cemilan milik Anin.
Anin
menghembuskan napas berat. Ia bingung bukan main. Ia sudah menjalankan diet
rendah kalori demi mendapatkan tubuh ideal, tapi ternyata itu saja tidak cukup.
Tubuhnya masih saja gemuk. Terakhir kali ia menimbang berat badannya, hanya
turun 2 kilo dari sebulan yang lalu. Jauh dari harapan Anin yang mengharapkan
ia bisa mengurangi 7 kilo dari berat badannya. Anin mendesah kesal apalagi
melihat sahabatnya, Elia yang tidak berkomentar dan justru malah memakan
cemilan miliknya. Dengan kesal Anin merebut cemilan di tangan Elia dan
membuangnya ke sembarang tempat.
“
El, serius kenapa? Aku kan lagi bermasalah kamu malah makan cemilan di depanku,
mana itu cemilan milikku lagi.” keluh Anin sontak dibalas cengiran lebar Elia.
“
Gimana dong El, aku harus gimana lagi biar kurus?” tanya Anin frustasi. Elia
mengedikan bahu menolak memberi saran.
“
Aku nggak tau Nin, aku juga belum pernah diet.” kata Elia.
“
Iya kamu kan udah kurus dan nggak bisa gemuk mana butuh diet.” Sinis Anin. Elia
menelan ludah. Tampaknya ia salah bicara. Lihatlah kini Anin bukannya tenang
malah makin berang. Elia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dalam situasi
seperti ini, apa yang bisa ia lakukan untuk sahabatnya itu.
“
Mungkin kamu bisa cari di internet Nin, cara diet yang bener.” usul Elia.
Kerucut di bibir Anin berubah menjadi sebuah senyuman mendengar saran Elia.
Dengan segera ia menyalakan komputer di kamarnya dan mulai mencari informasi.
Tak lama Anin memandang Elia dengan ekspresi super puas.
“
Makasih El, kamu emang sahabat terbaikku.” Anin mengacungkan kedua jempolnya. Elia
hanya membalasnya dengan senyuman. Ia tidak tahu apakah sarannya merupakan hal
terbaik bagi Anin. Elia hanya tidak suka melihat Anin cemberut dan sedih.
****
Elia
membelalakan mata melihat perubahan Anin. Tubuh Anin yang dulu terlihat sedikit
berisi dengan pipi chubbynya yang
menggemaskan kini berubah total. Elia tidak mengerti bagaimana Anin menjalankan
dietnya itu. Di hadapannya kini berdiri seorang gadis dengan tubuh begitu kurus
dengan pipi tirus. Elia bahkan hampir tidak mengenali wujud sahabatnya itu.
Beberapa minggu belakangan ini Elia memang sedang pergi dan tidak bisa bertemu
Anin. Karena itu saat bermain ke rumah Anin, Elia begitu terkejut melihat
perubahan Anin yang menurutnya begitu drastis.
Anin
terlihat begitu senang melihat ekspresi terkejut Elia. Pikir gadis itu, Elia
pasti tidak menyangka ia mampu menurunkan berat badannya sesuai dengan
impiannya. Setelah perjuangan menyakitkan akhirnya Anin berhasil menurunkan
berat badannya. Kini berat badannya telah berada di angka yang sangat diidamkan
Anin. Senyum tak pernah meninggalkan bibir Anin. Kini ia tidak perlu lagi
merasa malu memakai baju apapun, karena sekarang ia telah berubah menjadi gadis
cantik. Begitulah pikir Anin.
Tapi
senyuman Anin tak bertahan lama melihat perubahan ekspresi di wajah Elia.
Awalnya Elia memang terlihat sangat terkejut, tapi itu tak berlangsung lama.
Perlahan ekspresi Elia berubah dari terkejut menjadi sedih, prihatin entahlah
Anin juga tidak mengerti. Tapi satu hal yang Anin yakin, Elia tampak tidak suka
dengan penampilan Anin yang sekarang.
“
Kamu nggak mau ngasih selamat ke aku yang udah berhasil ngurusin badan?” tanya
Anin resah melihat ekspresi murung Elia.
“ A
aku senang kok. Selamat ya Nin akhirnya apa yang kamu inginkan bisa tercapai.
Ah ini ada oleh-oleh dari orang tuaku.” Elia mencoba menyunggingkan senyum
sambil memberikan oleh-oleh.
“
Kamu nggak seneng ngeliat aku jadi kurus?” tanya Anin melihat Elia yang tidak
terlihat bahagia. Elia menggeleng cepat.
“
Aku senang kok, hanya sedikit terkejut ngeliat perubahanmu yang begitu cepat.
Ku rasa mataku masih belum terbiasa melihat perubahan tubuhmu. Aku pulang dulu
Nin.” pamit Elia. Anin hendak mencegah Elia pulang, tapi terlambat sosok Elia
keburu menghilang di balik pagar rumah Anin. Anin menggelengkan kepalanya heran
melihat tingkah Elia. Ia tidak tahu kenapa Elia terlihat tidak menyukai
perubahan dirinya.
****
Sudah
beberapa hari ini Anin tidak masuk sekolah karena sakit. Elia mendesah gelisah.
Keadaan Anin belakangan ini semakin mengkhawaitrkan. Sejak ia begitu
menginginkan tubuh idealnya, Anin mulai diet gila-gilaan. Ia tidak mau makan
nasi, dan hanya makan roti tawar saja. Anin juga mulai doyan mengonsumsi obat-obatan
pelangsing yang tidak jelas asal-usulnya. Memang hasilnya tubuh Anin menjadi
kurus. Tapi masalah tak berhenti sampai di situ. Setelah mendapatkan tubuh
idealnya, Anin mulai ketakutan menjadi gemuk. Ia tetap melanjutkan pola
makannya, tak mau mengonsumsi nasi dan lauk pauk lainnya dan hanya memilih roti
tawar sebagai makanan pokoknya. Tak hanya itu Anin masih juga mengonsumsi obat
pelangsing tidak jelas itu. Elia kadang heran dan sedih melihat perubahan
sahabatnya itu. Ia kini merindukan saat-saat dimana ia dan Anin bisa makan
sebebasnya tanpa merisaukan berat badan. Elia tidak tahu kapan Anin mulai
berubah memikirkan bentuk tubuhnya.
Bel
pulang sekolah sudah berbunyi beberapa saat yang lalu. Elia masih duduk berdiam
di bangkunya. Ia tengah memikirkan apa yang harus ia bawa saat nanti menjenguk
Anin. Elia masih belum mengetahui keadaan Anin. Berapa kali di hubungi,
handphone Anin masih tidak aktif membuat Elia khawatir.
Elia
segera menggerakan tubuhnya setelah berdiam cukup lama. Yang terpenting saat
ini adalah mengetahui keadaan Anin. Lupakan terlebih dahulu buah tangan yang
harus ia bawa untuk menjenguk Anin. Elia berjalan cepat. Gadis itu ingin
cepat-cepat sampai di rumah Anin untuk mengetahui keadaaan sahabatnya itu. Tiba
di depan rumah Anin, Elia segera memencet bel rumah Anin. Tak lama kemudian
muncul seorang wanita setengah baya. Ia adalah ibu Anin.
“
Sore tante,” sapa Elia sopan. Tante Rina, ibu Anin hanya mengangguk sambil
tersenyum tipis. Kelelahan terpancar di wajahnya. Kantung hitam tebal menghiasi
ke dua matanya.
“
Masuk Elia, kamu pasti ingin tahu keadaan Anin kan?” tanya Tente Rina. Elia
mengangguk kemudian segera masuk.
Betapa
terkejutnya Elia begitu melihat keadaan Anin. Sahabatnya itu tengah berbaring
di tempat tidurnya dengan selang infus terpasang di tangan kirinya. Tubuhnya
tidak bisa lagi di bilang kurus, tapi sangat kurus. Entah kemana gumpalan lemak
dan daging Anin yang beberapa bulan lalu masih terlihat. Gadis yang kini ada di
hadapan Elia begitu berbeda. Tubuhnya sangat kurus, seperti tulang hanya
berbalut kulit. Matanya cekung, dan pipinya begitu tirus. Rambut Anin juga
menjadi sangat tipis. Ia terlihat jauh lebih tua dibandingkan umurnya.
“
Tante sebenarnya Anin kenapa?” tanya Elia.
“
Anin sakit El, kata dokter ia menderita anoreksia. Kamu tau kan belakangan ini
Anin sangat terobsesi menjadi kurus. Bahkan setelah tubuhnya kurus, ia masih
belum merasa puas. Setiap hari ia selalu menimbang tubuhnya takut berat badannya
naik. Semenjak itu Anin semakin jarang makan dan semakin rajin olahraga dan
minum obat-obatan. Sekarang kondisinya cukup parah. Ia mengalami dehidrasi
berat, anemia dan katany badannya terasa lemas.” jelas Tante Rina. Mata Elia
membelalak. Ia tidak percaya Anin menjadi begitu terobsesi pada bentuk tubuh
yang kurus.
“
Nin, “ panggil Elia lirih. Elia menggenggam tangan Anin yang sekarang begitu
kecil dan lemah. Padahal dulu tangan Anin cukup besar dan kuat. Anin tidak
menyahut, ia hanya memandang Elia dengan tatapan yang sulit dimengerti.
“
Kamu kenapa sih terobsesi banget jadi kurus? Padahal kamu yang dulu juga udah
terlihat cantik. Sebegitu pentingkah bagimu bentuk tubuhmu itu? Aku kan udah
sering bilang, selama kamu nggak obesitas kamu nggak perlu diet. Sekarang
lihatlah dirimu begitu menyedihkan.” oceh Elia setengah terisak.
“
Maafin aku El, aku terlalu terobsesi sama bentuk badan aku.” ucap Anin
terpatah-patah. Elia membelai kepala Anin, beberapa helai rambut Anin
tersangkut di jari Elia membuat tangis gadis itu pecah.
“
Cepet sembuh Anin, aku nggak mau ngeliat kamu begini. Pokoknya kalau kamu
sembuh nggak akan aku biarkan kamu berdiet-diet aneh lagi. Kamu itu udah cantik
apa adanya. Mau gemuk kek, mau lemakmu ada di mana-mana bagiku itu lebih baik
dari pada melihatmu hanya berbalut kulit aja.” isak Elia. Mata Anin ikut basah
melihat Elia menangis demi dirinya. Selama ini Anin tidak pernah menyadari Elia
sangat menyayaginya. Yang Anin pikirkan selama ini hanyalah bagaimana caranya
membuat tubuhnya terlihat kurus. Ia bahkan tidak sadar jika ia sudah jauh dari
kata kurus dan tetap menganggapnya gemuk. Akhirnya ia harus menerima akibatnya,
tubuhnya kekurangan gizi dan Anin terpaksa harus di rawat.
“
Kamu harus sembuh Anin. Kalau kamu sembuh nanti kita makan sepuasnya.” janji
Elia. Anin hanya mengangguk lemah sembari menyunggingkan senyuman yang tak
kalah lemah.
“
Janji.” Elia menjulurkan kelingkingnya dan menautkannya pada kelingking Anin.
****
Beberapa bulan
kemudian
Anin
tertawa-tawa mendengar candaan Elia. Sudah beberapa bulan berlalu. Kesehatan
Anin sudah lama membaik. Kini ia sehat sepenuhnya. Sekarang program Anin bukan
lagi diet untuk mendapatkan tubuh kurus, namun program untuk mengembalikan
berat badannya yang semula. Tubuh Anin memang masih kurus, tapi sudah ada perubahan
dibandingkan beberapa bulan yang lalu. Kini tulang berbalut kulitnya sudah
terisi beberapa gumpalan daging dan lemak. Cahaya di matanya juga
berangsur-angsur kembali. Meski tidak dengan rambutnya. Akibat sakit kemarin
rambut Anin rontok parah. Sekarang Anin harus memakai topi jika harus bepergian
kemana-mana.
“
Makasih ya El,” kata Anin.
“
Buat?”
“
Karena kamu udah ada di sisiku dan menasihati aku.” Elia mengacungkan kedua
jempolnya.
“
Itulah gunanya teman.” Anin menyunggingkan senyuman begitu juga Elia.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar